36. Bahasa hati

13.3K 773 10
                                    

***

"Aku bawa buah kesukaan Kang Ayash, nih. Syafaqallah, Kang."

Nafisa menyimpan buah-buahan dalam kantong kresek putih transparan di atas meja nakas. Gadis itu menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah Afi setelah pulang kuliah tadi. Dia diberi tahu kalau sahabatnya itu tengah kerepotan di rumah karena harus merawat suaminya yang sakit.

Ayash tersenyum dan mengacungkan jempol pada Nafisa. "Makasih, Naf. Rafiq mana?"

Pertanyaan Ayash membuat gadis itu beberapa kali melirik ke kanan kiri. Ayash sedang menggodanya sekarang karena dia tahu Rafiq menyukai Nafisa dan Nafisa malu-malu untuk mengakui.

"Kok nanya aku? Kang Rafiq deketnya sama Kang Ayash, ish."

"Ya, kirain. Soalnya kalo jodoh biasanya barengan." Ayash tertawa dengan suara yang masih serak.

Nafisa geleng-geleng kepala. Gadis berjilbab ungu itu tidak habis pikir, Ayash seperti tengah mencomblangkan keduanya saja. Tak berapa lama Afi masuk ke dalam kamar dengan membawa setumpuk pakaian milik suaminya yang sudah selesai di setrika sampai benar-benar rapi dan licin.

"Ada apa, kok rame?" tanya Afi sembari melangkah menuju lemari.

Ayash yang masih tertawa langsung menunjuk Nafis dengan dagunya, "Neng Nafis kasmaran, nungguin calon imam belom dateng."

Bugh!

Nafis melempar sebuah boneka ke arah Ayash dengan senewen, malu dia itu kalo membahas Rafiq si depan Afifah. Nafisa jarang bercerita pada Afifah soal Rafiq karena dia merasa tak perlu memperbesar perasaan dengan curhatan-curhatan tak jelas. Namun malah Ayash sendiri yang mengacaukannya.

"Siapa yang kasmaran? Orang kami cuma teman doang!"

Afi terkekeh melihat tingkah keduanya, ia juga tahu kalau Nafisa mengharapkan lelaki itu datang, namun sayang, setiap kali ada kesempatan untuk bertemu keduanya selalu menjauh. Bukan, bukan mereka yang menjauh, tetapi ada sesuatu yang entah apa namanya yang membuat kedua orang itu sulit sekali untuk di persatukan.

"Rafiq itu imam masa depan, Naf. Lelaki hebat itu melindungi, bukan menyakiti. Lekaki keren itu menyayangi, bukan yang mudah meninggalkanmu pergi."

"Kang Rafiq banget~" siul Afi mendukung perkataan suaminya.

Nafis bete. Wajahnya di tekuk beribu lapis, Ayash dan Afifah tengah menyudutkannya sekarang. Untung saja Rafiq tidak sedang di sana. Kalau ada, mungkin Nafisa lebih memilih untuk nyeburkan diri ke laut dan berbaur dengan segala spesies ikan.

Sudah tiga hari kondisi Ayash belum juga membaik, ia kerap muntah-muntah. Ayash sudah dikasih obat penghilang nyeri tapi tetap saja tidak manjur, Ayash masih sering mengeluh punggungnya sakit dan kepalanya selalu pusing setiap kali berusaha bangun.

"Hueekkk ...."

Ayash muntah lagi, beruntung ada ember kecil di samping kasur, wajah ayash pucat pasi padahal tadi subuh badannya sudah agak mendingan, namun hari ini kesehatan Ayash semakin menurun.

"Ya Allah, Kang! Fi, kita ke dokter buruan. Kondisi suami kamu makin parah ini!" kata nafisa dengan wajah panik Afifah ikut panik.

Di ambilnya ponsel milik Ayash dan di serahkan ke Nafisa. "Hubungi Kang Rafiq, bilang jemput ke sini kita gak bisa nyetir mobil, kan? Taksi juga jarang lewat. Buruan!"

Nafisa kaget mendengar kalimat Afifah. Gadis itu menyodorkan ponsel Ayash padanya, namun Nafisa bergeming, ia benar-benar tidak punya keberanian untuk berbicara dengan pria itu meski hanya lewat telepon.

"Buruan Naf, aku mau pakein Aa jaket nih. Nanggung, ish!" kata Afi rusuh.

"Iya, kumaha atuh? Malu, Fa."

"Malu kenapa? Ya Allah. Singkirkan ego kamu dulu, ya. Ini urgent."

Akhirnya Nafisa menerima ponsel itu juga. Mencari kontak nama Rafiq di daftar kontak kemudian memencet ikon panggil, sembari menunggu panggilan di angkat Nafisa memasang wajah cemas.

"Assalamualaikum, ada apa, Yas?" Rafiq menjawab teleponnya.

Hati Nafisa berdesir mendengar suara berat lelaki tersebut. Dienyahkannya pikiran aneh barusan, berusaha fokus dan tidak gagap.

"Waalaikumsalam, Kang. Ini Nafisa tolong jemput ke sini, Kang Ayash sakitnya parah."

Rafiq yang ada di seberang sana terlonjak kaget. Pria itu melepas jas yang dipakainya kemudian bergegas keluar ruangan tanpa mematikan telepon.

"Wait! Gue akan tiba di sana beberapa menit lagi."

Telepon di putus sepihak.

Ponsel Ayash menggelap usai panggilan itu berakhir, jantung Nafisa berdebar mendengar suara Rafiq di seberang sana meskipun nadanya terdengar panik namun itu tetaplah suara yang pernah dirindukannya.

***

Ayash menatap langit-langit ruangan berbau obat tersebut dengan tatapan sayu, tangan kanannya ditusuk jarum infusan. Lelaki itu hanya bisa menerima kenyataan bahwa dirinya yang seorang dokter harus berubah menjadi pasien untuk beberapa hari.

"Asam lambung lo naik lagi. Tipes lu juga kumat, udah gue bilang jangan telat makan, rese lu."

Ayash dihujani dengan kebawelan Rafiq, Ayash hanya memejamkan mata ketika kalimat itu kembali menyumbat telinganya. Ayash sedang tak ingin debat dengan Rafiq sekarang. Dia benar benar lemas.

"Dia jarang makan, Fa. Kalo moodnya jelek susah makan. Makanya dia punya asam lambung," terang Rafiq pada Afifah.

Afifah hanya geleng kepala, tak memahami gaya hidup seorang dokter yang terkenal dingin itu. Penyakit asam lambung bukanlah penyakit sepele, kalau sudah kumat rasanya luar biasa sekali. Hanya saja Ayash yang keras kepala selalu menolak jika Afifah mendesaknya untuk ke dokter.

"Gue permisi dulu, Fa."

"Iya Kang, terima kasih."

Rafiq tersenyum kemudian pamit keluar ruangan, dia hanya ingin memberikan waktu untuk Afifah agar lebih leluasa menyemangati Ayash. Begitu dia menutup pintu, seorang gadis berjilbab ungu tengah duduk di ruang tunggu dengan wajah cemas.

"Nafisa?"

Gadis itu mendongak begitu Rafiq menyebut namanya, tatapan keduanya bertemu pemuda itu salah tingkah.

"Gak masuk?" Tanyanya

"Abis telepon mama barusan."

"Oh, ya."

Rafiq mulai kehilangan bahan obrolan, pemuda itu memasukan tangannya ke saku jas putih yang tengah dia kenakan. Berusaha tidak terlihat canggung.

"Kang rafiq, apa kabar?" Tanya nafisa

"Alhamdulillah. Kamu sendiri? "

"Alhamdulillah, baik."

Hening kembali.

Kalimat Ayash tiba-tiba terngiang di telinganya. Soal perasaannya pada Nafisa waktu itu tapi dia tak ingin memulai, dia masih ragu-ragu apalagi keadaannya sekarang tidak mendukung.

"Kang, Nafis pulang dulu, ya. Mama sudah jemput. Bilang sama Kang Ayash sama Afifah Nafis duluan ada perlu."

"Oh, ya." Rafiq mengangguk, dalam hati ia kecewa kenapa Nafisa secepat itu pergi. Gadis itu pamit dengan terburu-buru setelah mengucapkan salam pada Rafiq.

***

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Onde histórias criam vida. Descubra agora