Chapter 1

61.5K 3.2K 171
                                    

London, Mei

Lady Eliza Rotherstone menatap nanar keluar jendela. Sungguh menyebalkan. Bahkan di setiap musim Inggris Raya tak pernah lepas dari hujan. Oh ayolah, ini musim semi. Seharusnya para gadis bersenang-senang seperti bunga yang bermekaran. Namun, hujan yang hampir selalu tumpah di daratan Inggris menghalangi berbagai kegiatan yang telah direncanakan. Termasuk dirinya yang ingin berkuda sore di Hyde Park.

Baiklah, ia bukan lagi seorang gadis. Ia adalah wanita dewasa yang dicap sebagai perawan tua oleh para ton. Walaupun umurnya baru 25 tahun. Demi Tuhan!

Eliza tidak terlalu suka London. Kota ini penuh sesak saat musim pesta seperti ini. Tetapi kakaknya, William Rotherstone, Earl of Durham, memaksanya ke kota untuk mengikuti pasar perjodohan. Dan disinilah ia, hanya duduk di salah satu ruang duduk townhouse kakaknya, Whitmoure House.

Eliza mengerti jika dirinya harus segera menikah untuk memudahkan Livia yang akan memulai debutnya tahun depan. Ia sangat menyayangi adiknya, tentu saja. Ia ingin Livia sukses di pasar perjodohan dan menikah lalu berbahagia dengan suami dan anak-anaknya. Eliza juga ingin menikah dan bahagia. Tapi ia tidak bisa menikah tanpa cinta seperti kebanyakan ton lainnya.

Ia adalah tipe romantis. Menikah atas dasar cinta dan hidup bahagia bersama keluarga kecilnya adalah impiannya.

"Liz, apa kau tidak ingin menyulam?" Livia mengangkat sulaman yang sedang ia kerjakan.

"Tidak, terima kasih Livi. Kau tahu aku sangat kaku saat menyulam."

Ya. Dirinya tidak bisa menyulam seperti gadis manis lainnya. Will sering mengingatkannya untuk belajar. Tapi tangannya terlalu kaku.

"Liz sayang, aku yakin jika kau terus mencoba kau pasti akan terbiasa."

"Dan membuat jari-jariku selalu tertusuk jarum tidak ada dalam agendaku, Livi. Aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri."

Mereka sedang menikmati jamuan teh di sore hari. Ditemani kue kering sang koki yang sangat lezat. Tapi Eliza sangat bosan. Hujan benar-benar menghapus kesenangan sorenya di luar ruangan.

"Liz, apa kau tidak ingin menikah tahun ini? Will bilang ia tidak akan membiarkan aku menikah sebelum dirimu menikah."

"Oh Livi. Aku juga ingin menikah. Tapi dengan wajahku yang biasa-biasa saja dan maskawin yang juga biasa-biasa saja tidak akan mudah untuk mendapatkan lamaran. Bahkan dari pemburu harta sekalipun."

Eliza memang merasa dirinya tidak cantik. Hanya biasa-biasa saja. Berbeda dengan Livia yang memiliki mata bulat bercahaya, tulang pipi tinggi dan bentuk bibir yang seperti busur panah dengan senyuman bak malaikat. Livia akan menarik banyak pengagum pria saat debutnya nanti. Baik bangsawan kaya ataupun pemburu harta. Mereka akan melamarnya tanpa melihat maskawin Livia.

"Kau sangat manis, Liz," ujar Livia. Tidak mengerti mengapa kakaknya sangat rendah diri. Eliza terlihat begitu manis dan terlihat anggun secara alami. Tidak seperti dirinya yang terlihat seperti wanita lemah.

"Kau selalu menyanjung kakakmu, Dik. Kau tahu bahkan Will mengatakan kalau aku ... yah ... kurang cantik."

"Will, dan semua pria yang menyebutmu kurang cantik adalah pria-pria bodoh," Livia berkata dengan kesal. Mengabaikan sulamannya untuk sementara.

"Aku terlalu jangkung."

"Kau proporsional, Liz. Kau tahu? Will sedang berusaha untuk menggandakan maskawin kita. Dia berinvestasi pada perusahaan kereta. Aku, di lain pihak, tidak ingin Will menggandakannya. Aku ingin pria yang melamarku mencintaiku. Bukan mencintai maskawinku atau fisikku," ucap Livia seraya mendesah dan melanjutkan sulamannya.

"Ya, itulah impian para gadis bukan?" Eliza meneruskan kegiatannya memandangi hujan. Sebelum pesta dansa Lady Avery dimulai nanti malam.

"Aku ingin sekali keluar rumah," ujar Livia tiba-tiba.

"Bibi Maura tidak akan mengizinkan. Bahkan dia yang memilih acara sosial yang harus aku datangi. Mencoret banyak pesta bergengsi hanya karena skandal yang pernah dilakukan tuan rumahnya," gerutu Eliza.

"Di mana Bibi Maura sekarang?" tanya Livia.

"Dia sedang tidur."

Mata Livia berbinar nakal. "Kalau begitu aku akan ke dapur untuk merecoki koki kita dan mengambil banyak scone sebelum Bibi Maura bangun," ujar Livi dengan gembira dan merapikan rajutannya.

Eliza tertawa dengan gembira ketika melihat Livia berjalan riang ke arah pintu. Ia juga berdiri dan merapikan gaunnya. Sebaiknya ia juga bersiap untuk ceramah yang akan bibinya dengungkan.

***

Jordan sangat gusar. Ibunya selalu mendesaknya untuk menikah. Menghasilkan Marquess of Hartington untuk meneruskan dukedom. Baiklah, itu sangat kasar. Tapi ya ampun dirinya sangat tidak berniat untuk menikah tahun ini.

Sekarang dirinya terjebak di ruang duduk biru bersama ibunya. Ruang tamu pribadi sang duchess. Bahkan ia masih bertanya-tanya, konyol sekali nama ruangan ini. Mengapa harus bernama ruang duduk biru? Hanya karena tirai yang menutupi berwarna biru.

"Kau harus menikah, Nak. Tahun ini." Ibunya menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Tahun ini, Duchess?" tanya Jordan dengan menekankan kata Duchess pada ibunya. Hanya untuk membuat ibunya kesal.

"Kau tahu kau harus menghasilkan keturunan untuk dijadikan pewaris. Dan aku sudah sangat ingin bermain dengan cucuku," sang duchess kembali menekankan kata-katanya.

"Kau sudah bisa bermain dengan cucumu, Duchess. Camilla sudah memberimu cucu. Yang sangat banyak jika aku boleh
menambahkan," ujar Jordan dengan nada bosan.

"Hanya dua, Jordan. Adikmu baru memberiku dua cucu. Dan aku sangat menginginkan seorang cucu darimu." Ibunya masih saja berkata dengan nada memaksa khas seorang duchess.

"Dua dan sangat berisik bagaikan sepuluh orang. Itu sama saja dengan banyak, Duchess."

"Oh astaga. Berhentilah memanggilku Duchess, Jordan. Aku merasa seperti istrimu atau kekasih gelapmu."

Baiklah ibunya selalu memiliki selera humor yang aneh.

"Ibu. Aku belum siap menikah untuk tahun ini. Mungkin begitu juga tahun depan. Kau tahu aku baru 30 tahun." Jordan benar-benar tidak suka dipaksa. Apalagi dengan urusan remeh seperti pernikahan.

"Kau tahu? Kau berbeda dengan ayahmu. Dan selamanya tidak akan sama. Hilangkanlah ketakutanmu, menikahlah demi kebahagianmu. Maka, aku akan turut berbahagia untukmu, Nak."

Jordan menghela napas dan berjalan menuju jendela.

"Datanglah ke pesta dansa Lady Avery. Sudah terlalu lama kau tidak menghadiri pesta dansa. Temukanlah seseorang di sana, Nak. Aku yakin kau akan menemukannya."

Jordan tidak membalas perkataan ibunya. Ia masih memandang keluar jendela rumahnya. Baiklah, ia akan datang ke pesta dansa Lady Avery malam ini.

***

TBC

Regards

DSelviyana
111216
Repost Revisi 07 Juni 2017

Pleasures Of a Wicked Duke [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang