Chapter 22

25.9K 2.4K 458
                                    

Happy Reading 😘

***

Sudah dua hari berlalu, namun Eliza masih saja memejamkan matanya. Dan selama Eliza belum bangun dari tidur lelapnya, Jordan selalu ada di sisinya. Menemani Eliza. Menjaganya dari demam yang datang pada hari pertama Eliza tidak sadarkan diri.

Livia melihat itu semua dengan perasaan terkesima. Ia tidak menyangka bahwa kakaknya begitu dicintai oleh sang duke. Meskipun ia dan dowager duchessㅡyang datang di hari berikutnya setelah dukeㅡmemaksa pria itu untuk beristirahat, sang duke berkeras untuk tetap berada di sisi Eliza.

Wajah pria itu terlihat sangat berantakan. Semua wibawa yang dimilikinya sejak lahir menghilang. Rambutnya jauh dari kata rapi dan Livia yakin sang duke menyisir rambutnya hanya dengan jemari tangannya. Rahangnya dipenuhi cambang gelap karena dibiarkan selama beberapa hari. Matanya merah dan bengkak karena tidak beristirahat.

Akhirnya setelah sang dowager duchessㅡyang tidak tega melihat putranya terus-menerus mengabaikan kesehatannya sendiriㅡ mengancamnya dengan larangan bertemu Eliza ketika istrinya bangun karena tubuhnya akan terikat erat di ranjangnya, pria itu menyetujui usulan ibunya untuk istirahat selama beberapa jam. Ancaman tersebut membuat Livia tersenyum karena ia tidak menyangka bahwa seorang duke yang penuh dengan kekuasaan, takluk di bawah ancaman ibunya.

Saat ini Livia berjaga di sisi Eliza. Menggantikan sang duke yang sedang beristirahat. "Bangunlah, Liz. Suamimu sangat mencemaskanmu," bisiknya seraya mengelus wajah kakaknya yang mulai memliki warna kehidupan lagi.

Livia hampir memekik bahagia ketika dengan perlahan, Eliza membuka matanya. Ia membekap mulutnya agar tidak berteriak dan mengagetkan Eliza.

"Ya Tuhan. Syukurlah kau akhirnya sadar, Liz. Kami semua mencemaskanmu," pekiknya dengan tertahan.

"Apa yang terjadi?" tanya Eliza dengan lemah.

"Kau jatuh dari kudamu yang tergelincir. Dua hari yang lalu. Apa kau haus?" Livia melihat kakaknya berusaha menjawab. "Jangan menggerakkan kepalamu, Liz. Kepalamu pasti sakit. Dokter mengatakan jika kepalamu terbentur cukup keras. Tulang rusukmu juga luka. Meskipun tidak parah, " lanjutnya.

Livia menuangkan air ke dalam sebuah gelas. Ia juga mengambil sendok perak dari atas nampan di meja yang menyimpan ketiga benda tersebut. Ia mulai menyendok air dan memberikannya untuk Eliza.

"Aku tidak ingin mengambil resiko kepalamu akan sakit jika kau
bangun," jelasnya.

Livia berhenti setelah isi gelas tersebut hanya tinggal setengah dan tangan Eliza menahan lengannya yang ingin kembali menyendok air dari dalam gelas.

"Liz," mulai Livia ketika ia melihat kakaknya menyunggingkan senyum terima kasihnya.

"Ada apa, Livi?" tanya Eliza.

"Duke sangat mengkhawatirkanmu, kau tahu. Dia selalu menjagamu dan tidak ingin meninggalkanmu sekejap pun," ujarnya.

Livia melihat binar ketidakpercayaan pada sinar mata kakaknya. "Aku tidak mengerti mengapa kau tidak percaya jika Duke menemanimu selama tiga malam ini. Well, aku akan memanggil dokter yang tidak diperbolehkan pulang oleh Duke sebelum kau baik-baik saja. Dan aku harap kau bisa menerima jika bayimu telah pergi," ujar Livia seraya beranjak dari duduknya dan keluar dari kamar Eliza.

Livia tidak menyadari jika Eliza terkejut atas berita tersebut. Ia tidak melihat air mata dengan perlahan menuruni mata Eliza.

***

Keheningan tercipta setelah Livia keluar dari kamarnya untuk memanggil dokter yang menurut Livia ada di sini karena Jordan melarangnya pergi.

Eliza terus mengeluarkan air matanya dalam diam setelah mendengar kabar tersebut. Ia hamil, tadinya. Dan sekarang bayinya pergi karena kecerobohannya. Bayinya pergi karena dirinya tidak tahu jika dirinya hamil. Mengapa aku tidak menyadarinya?

Pleasures Of a Wicked Duke [Revisi]Where stories live. Discover now