Chapter 19

26.6K 2.4K 295
                                    

Pelukannya semakin mengetat. Membuat tubuh di hadapannya menggeliat karena terganggu. Ia tersenyum dan mengecup pelan puncak kepala wanita itu yang masih menyisakan aroma favoritnya.

Otak Jordan memerintah agar ia kembali ke kamarnya setelah penyatuan panas mereka. Tapi tubuh dan hatinya menolak dengan keras. Menginginkan wanita itu dalam pelukannya hingga fajar menjelang. Bukan. Keinginan itu seperti hingga akhir waktu yang ia miliki. Ia ingin terus memeluk tubuh Eliza yang selalu memberinya kedamaian. Mengusir mimpi buruk yang selama ini menguasai dirinya.

Jordan berusaha meyakinkan diri untuk memejamkan mata. Berdoa untuk sekali lagiㅡdalam pelukan Elizaㅡnerakanya tidak akan menghampiri. Dan mungkin suatu saat, Jordan berharap neraka dalam mimpi buruknya akhirnya hilang untuk selamanya.

***

Eliza terjaga dari tidur lelapnya. Ia tidak pernah tidur selelap dan senyaman ini hingga ia bangun ketika matahari sudah tinggi di ufuk timur.

Ke mana Molly? Mengapa dirinya tidak dibangunkan lebih pagi?

Eliza mengerjap. Ketika kesadarannya mulai kembali dan terkejut ketika mendapati kehangatan yang dirasakannya bersumber dari pelukan suaminya.

Suaminya. Ia tersenyum bahagia karena menyadari suaminya tinggal semalaman di kamarnya. Tidak seperti yang lalu-lalu. Suaminya hanya menunggu Eliza terlelap setelah percintaan mereka. Karena saat Eliza membuka mata di pagi hari, ia merasakan kehampaan tajam pada sisi tempat tidur di sebelahnya. Juga di hatinya. Karena sisi ranjang yang Jordan tempati terasa dingin. Menandakan bahwa tidak ada tubuh yang menghangatkan ranjangnya.

Eliza memperhatikan wajah Jordan dengan saksama. Ia menelusuri wajah Jordan dengan telunjuknya tanpa benar-benar menyentuhnya. Eliza tidak ingin membangunkan Jordan. Jarinya bergerak dimulai dari kening Jordan dan alisnya yang tidak berkerut saat tertidur. Eliza kembali tersenyum. Ketika Jordan membuka matanya, kening dan alisnya selalu menampilkan kerutan samar. Seolah-olah beban seluruh dunia berada di pundaknya untuk dipikirkan.

Telunjuknya turun ke arah hidung Jordan yang mancung. Terlihat congkak khas hidung bangsawan. Jarinya berbelok ke arah pipi Jordan yang memiliki struktur tulang pipi tinggi dan maskulin. Eliza melihat bayangan gelap di sekitar pipi Jordan. Menandakan rambut halus wajahnya kembali tumbuh karena belum dicukur.

Jari Eliza turun ke arah bibir Jordan yang penuh dan sensual. Ia sempat ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menyentuh bibir itu dan menelusurinya. Saat jari Eliza mencapai pertengahan bibir Jordan, mata Eliza terbelalak karena Jordan memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulutnya. Eliza menggigit bibir ketika Jordan mengulum telunjuknya sebelum mengecup dan melepaskannya.

"Selamat pagi," ucapnya parau tanpa membuka kelopak matanya. "Menikmati penjelajahanmu, Cantik?" lanjutnya dengan nada bertanya.

Mata Eliza semakin terbelalak ketika menyadari sesuatu. "Sejak kapan kau terjaga?" tanyanya.

Jordan tersenyum. Matanya masih terpejam dengan rapat. "Sejak saat kau melihat wajahku dengan terpesona," ujarnya.

"Aku tidak terpesona," bantah Eliza.

"Kau terpesona."

"Tidak! Lepaskan aku!" balas Eliza jengkel.

"Mengapa kau tidak mau mengakuinya?" tanya Jordan seraya membuka matanya. Irisnya menjelaskan kesan geli yang sangat kentara karena kekeraskepalaan Eliza.

Eliza tidak menjawab pertanyaan Jordan dan memilih meronta untuk terbebas dari pelukan Jordan.

"Jika kau terus melakukan gerakan mengundang seperti itu, Cantik, aku yakin sebentar lagi akan menerkam habis dirimu," ujar Jordan dengan suara parau.

Pleasures Of a Wicked Duke [Revisi]Where stories live. Discover now