Part 19

22.3K 1.9K 26
                                    

Tubuh Raihan membungkuk, tangannya terulur untuk meraih sesuatu. Ketika sampai, ia mengangkat dan memperhatikan benda itu. Meskipun benda itu tak pernah ia lihat secara langsung, namun ia tahu itu adalah alat untuk mengecek kehamilan. Dan alat itu memperlihatkan dua garis berwarna merah.

Ketika Aqila memberitahunya kalau sebenarnya dia hamil, saat itu juga Raihan ingin segera memeluk istrinya itu. Mengecup keningnya dan mengucapkan rasa terima kasihnya. Aqila benar, inilah yang dia harapkan. Inilah yang ia inginkan. Namun hal itu diurungkannya karena waktunya yang tidak tepat.

Raihan juga merutuki dirinya sendiri akibat mulutnya yang kurang ajar. Entahlah. Otak dan mulutnya seperti tidak sinkron yang berhasil membuat Aqila sakit hati. Lebih dari sakit, bahkan merasa terhina.

"Ada apa sih Pa? Kayak ada ribut-ribut gitu?" Rita keluar dari kamarnya. Tangannya sibuk mengucek matanya karena habis bangun tidur.

"Ngga ada apa-apa, kok."

Mata Rita memicing, iya yakin sudah terjadi apa-apa di sini.

Aqila keluar dari kamarnya dengan membawa sebuah koper besar berwarna hitam. Ia nampak kesulitan membawanya. Dengan sekuat tenaga Aqila berhasil menurunkan koper dari lantai dua rumah itu.

"Lho Tante mau kemana malam-malam gini?" Tanya Rita dengan wajah terkejut karena melihat Aqila membawa koper.

Aqila mengendikkan bahunya ia tetap terus berjalan melewati Rita dan juga Raihan. "Kemana aja asalkan ngga di sini lagi."

Rita sedikit berlari dan memegang tangan Aqila sebelum melewati pintu, "aku mohon jangan pergi, Tante."

Aqila balas tersenyum pahit. "Maafin Tante Rita," Aqila diam sejenak. "Percuma kalau rumah tangga hanya satu pihak saja yang mempertahankan. Sedangkan hubungan itu terdiri dari kedua belah pihak. Itu seharusnya."

Rita mulai menangis, di saat ia bisa menerima Aqila sebagai mamanya kenapa jadinya malah seperti ini? "Aku mohon... Bertahan untuk aku."

"Fondasi dari pernikahan itu adalah kejujuran dan kepercayaan. Kalau fondasinya saja sudah tidak kuat, bagaimana dengan yang lain." Aqila melirik Raihan sejenak. Aqila memang bertujuan melayangkan pernyataan itu pada Raihan. Rita tak akan mengerti maksudnya.

"Anak cantik ngga boleh nangis dong" Aqila menyeka air mata Rita yang turun melewati pipi. "Nanti kalau oppa-oppa kita di Super Junior udah pulang wamil dan ada konser di Indonesia kita bisa nonton bareng. Tante janji." Aqila menunjukkan kelingkingnya pada Rita, namun lama Rita tak mengaitkan jari kelingkingnya pada jari Aqila. "Tante yang bayarin deh." Aqila terkekeh lalu mengusap puncak kepala Rita dengan sayang, saat melihat Rita mengaitkan jarinya. Kemudian Aqila segera bergegas untuk meninggalkan rumah itu.

"MAMA!"

Aqila menghentikan langkahnya sejenak, ia yakin kalau itu adalah suara Rita.

"MAMA!!"

Aqila membalikkan tubuhnya hingga menghadap Rita yang masih berdiri di tempat semula, Rita semakin menangis tersedu-sedu.

Aqila mematung di tempatnya sekarang. Hatinya menghangat mendengar satu kata yang Rita ucapkan barusan. Satu tetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.

Rita berlari dan berhambur ke dalam pelukan Aqila. Mereka berpelukan di tengah dinginnya angin malam yang berhembus. Mereka sedang berada di halaman depan rumah.

Aqila melonggarkan pelukannya, ia menatap Rita lekat. "Tadi Rita panggil Tante apa?"

"Mama.. Mama.."

Tangis Aqila menjadi. Ia memeluk tubuh Rita lagi.

"Jangan pergi, Ma.. Jangan..." Ucap Rita dengan suara yang bergetar. "Selama lima belas tahun ini aku belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Pelukan hangat dari ibu. Perhatian-perhatian, dan juga nasihat yang biasa diberikan ibu-ibu lain seperti teman-temanku. Tapi setelah ada Mama Qila aku– aku bisa ngerasain itu semua. Cuma Mama yang bisa ngerti aku. Cuma Mama Qila yang bertahan sama sikap aku yang ngejengkelin. Aku sayang Mama Qila."

StepmotherWhere stories live. Discover now