Reizen I - Osilon Village : Part 1

6.1K 161 9
                                    

Bulan menggantung malas di langit malam Cahaya sang bulan yang lemah mencoba menerobos  pekatnya malam yang tertutupi oleh gumpalan – gumpalan awan hitam.  Ditambah dengan rindangnya pepohonan yang menghambat cahaya rembulan yang sudah lemah. Membuat Hutan ini semakin hitam pekat. Pekatnya malam mengaburkan pandanganku. Hanya lemahnya cahaya bulan yang berhasil menembus pepohonan dan terpantul pada Dual Bladeku; Aldebaran yang memberikanku sedikit penerangan. Itu sangat menghambatku dalam pelarian ini. Tapi, aku harus terus berlari. Tak peduli kemana kaki ini akan membawaku. 

Aku berlari dan berlari. melewati seluk – beluk hutan belantara yang tak kukenal. Nafasku tersengal – sengal. Keringat bercampur darah segar membanjiri tubuhku. Dibeberapa bagian tubuhku sudah berdenyut – denyut kesakitan. Pepohonan disampingku sudah mulai menjarang. Tenaga terakhirku sudah terkuras habis tepat saat aku memasuki sebuah padang rumput luas. Rasanya tenagaku seperti menguap seketika saat memasuki padang rumput ini. Kakiku tidak bisa lagi digerakkan. Seluruh tubuh bagian bawahku seperti mati rasa. Aku langsung jatuh tersungkur tepat dipinggir sungai didekat padang rumput.

Aku harap aku sudah berlari cukup jauh sehingga tidak bisa terlacak oleh para pengejarku. Menggerakan kaki saja sudah tidak bisa, apalagi mau membela diri dengan melawan mereka. Aku masih punya tugas yang harus kulakukan , aku tak boleh mati sia – sia disini. Tapi, tenagaku seperti terus terisap hingga sepenuhnya habis dan aku sudah tidak sanggup lagi membuka kelopak mataku. Dan semuanya menjadi gelap.

***

Gelap, sunyi, sendirian, dingin. Aku tak dapat merasakan hawa mahluk hidup lain disekitarku. Yang ada hanyalah aku seorang sendiri dan kekosongan belaka yang mencekam. Aku merasakan kedua pedangku berada digenggaman tanganku. Aku memandang sekitarku, tapi tetap tak menemukan apapun selain kegelapan mutlak. Aku memberanikan diri untuk berteriak. Tapi, hanya gema dari suaraku yang terdengar. Dimanakah ini? Disebuah ruangan kah? Kenapa tak ada satu pun mahluk disini? Apakah aku sudah mati? Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan di kepalaku.

Kesunyian ini membuatku makin tidak bisa berpikir hingga aku mendengar suara gemerisik pelan zirah dikejauhan. Gemerisik zirah itu terus mendekat. Nampaknya orang yang mengenakannya sedang berlari kearahku. Aku melihatnya dikejauhan. Zirahnya sudah menghitam oleh darah, tapi nampak bagian kekuningan di beberapa bagian. Dia terus berlari, hingga aku bisa melihat lambang yang tersemat di pelindung kepalanya. Lambang dengan dua kepala singa yang memegang pedang mengarah ke kepala singa lainnya.

Prajurit itu terus berlari menerjangku. Aku tidak sadar bahwa sedari tadi sang prajurit telah memengang pedang retaknya tinggi – tinggi dan mengarahkan mata pedangnya tepat ke tubuhku. Aku mencoba melarikan diri. Tapi, kakiku tak bisa digerakkan. kakiku seperti terikat oleh rantai tebal. Aku panik dan mencoba membuka rantai – rantai ini dengan pedangku, tapi si prajurit sudah tepat dihadapanku dengan pedang terhunus langsung ke jantungku dan ............................................

“ ARRRRRRRGGGGG!!!”

          Aku terbangun. Rasa sakit yang begitu nyata saat jantungku tertusuk terasa begitu meyakinkan. Segera rasa sakit yang seharusnya hanya mimpi itu menjadi kenyataan tapi bukan hanya didadaku saja, sakit itu merayap ke seluruh badanku.

           Cahaya matahari yang menembus jendela langsung menyilaukan pandanganku, membuat sekilas semuanya menjadi putih. Tapi betapa menyenangkannya dapat melihat kembali sinar matahari setelah berada di tempat gelap tadi. Setelah mataku terbiasa dengan silau matahari, aku mengedarkan pandanganku. Aku terduduk dengan tubuh penuh lilitan kain putih di sebuah tempat tidur , dibawah jendela besar di sudut kamar. Dimana aku? Siapa aku? Aku berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum aku terbangun. Tapi seketika kepala ku langsung pusing.

Elemetal ForéaWhere stories live. Discover now