Reizen VII : part 4

1.8K 85 5
                                    

Semilir angin menerpa wajahku. Duduk di dahan pohon tertua didaratan ini sudah menjadi rutinitasku sejak pindah ke kota Ravenos ini. Sudah 3 minggu aku berada di kota ini sembari menunggu sesuatu yang tidak pasti. Dari pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota ini sampai hari ini, Kítrino belum memberikanku informasi lagi tentang izinku untuk pergi dari ibu kota.

 Ataupun tentang apa yang sedang diselidikinya lewat kalungku. Aku tahu dia sedang sibuk - sibuknya dengan urusan menjadi raja. Aku tidak mau berurusan dengan hal - hal merepotkan tentang kerajaan, jadi aku hanya duduk diam menunggu di dahan pohon Legidösse ini sepanjang hari. Menunggu sepucuk surat undangan untuk datang ketempatnya.

Sebuah bunyi dentingan senjata terjatuh terdengar tak jauh dari tempatku duduk. Bukankah hampir tidak ada orang yang mau kemari? Atau lebih tepatnya, tidak ada yang bisa memasuki kompleks taman ini selain diriku sendiri dan anggota keluarga kerajaan. Aku melompat turun dari dahan dan berjalan menuju sumber bunyi. Sebuah goa kecil dan hampir kasat mata berada tepat di depanku. Suara dentingan senjata beradu kembali terdengar.

Aku masuk ke dalam goa kecil itu. Goa itu diterangi beberapa lampu minyak. Bayangan seseorang yang sedang berlatih menggunakan pedang mengayuh kesana kemari ke sebuah boneka yang terbuat dari kayu dan besi. Aku tidak mengira seseorang itu adalah Lacie, adik Kítrino. Aku sudah pernah bertemu beberapa kali dengannya selama 2 minggu ini entah secara kebetulan atau tidak. Terkadang ketika aku menemui Kítrino, dia juga bersamanya.

Dia begitu serius berlatih hingga tidak menyadari kedatanganku. Aku tidak ingin mengganggu, jadi aku segera berbalik kembali ke mulut goa. Krak! Aku tidak sengaja menginjak dahan kering.

" Siapa itu?!" Suara lembut dan tegas sang putri terdengar.

Aku tidak menjawab. Hanya menunggunya hingga sampai ditempatku. Wajah mulusnya yang tadi tegang berubah lega setelah melihatku. Genggaman tangannya ke pedang pun mengendur. Dia mengelap keringat yang membasahi dahinya.

" Syukurlah. Kukira salah satu pengawal itu sudah bisa memasuki kompleks taman ini seperti halnya dirimu." dia menghembuskan nafas lega.

Aku memandanginya dari atas sampai bawah. Rambut biru gelap bercampur hitam pendeknya awut - awutan dan basah oleh keringat. Baju lengan panjang biru gelap yang digulung lengannya juga sudah mulai basah oleh keringat. Dan... Clana panjang? Jarang sekali seorang perempuan menggunakan celana dinegeri ini. Terlebih untuk kaum bangsawan. Aku kembali menatap wajahnya.

" Untuk apa kau latihan sembunyi - sembunyi disini? Bukankah lebih dekat balai latihan dari pada tempat ini dari istana? "

" Perempuan, apa lagi kaum bangsawan, dilarang menggunakan senjata. " dia menjawabku sambil membuka sebuah botol minum.

Aku memutar kembali tubuhku dan berjalan keluar dari gua.

" Aku tidak akan mengganggu, jadi selamat berlatih." Dan aku keluar dari gua itu.

Aku segera meninggalkan kompleks taman. Hari masih siang, kuputuskan untuk mengunjungi Gin di balai latihan. Balai latihan berada di barat kota, bertentangan dengan kompleks taman ini. Cukup jauh memang, tapi daripada bosan, lebih baik aku ke sana. Balai latihan di ibu kota ini tidak jauh berbeda dengan balai latihan yang kumasuki di kota Aéra. Hanya saja lebih besar dan ramai oleh para pemula.

Berbagai bunyi senjata yang bertemu memenuhi seisi balai. Aku langsung ke lantai 3 tempat dimana Gin berlatih bersama Téchoun. Gin berlatih dalam rangka menghadapi ujian kenaikan pangkat yang akan dilakukan minggu depan. Dia sudah mendapatkan promosi jabatan dari Téchoun, jadi kata Gin, dia hanya perlu mengalahkan tentara tingkat II bersulam emas agar dia naik dari pangkatnya sekarang, tentara Tingkat II tanpa sulaman. Sekarang ini hanya sedikit tentara tingkat I yang berlatih. Aku melihat mereka masih beradu pedang ditengah lapangan, jadi aku hanya duduk dipinggir lapangan memperhatikan mereka.

Elemetal ForéaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang