Reizen VII : part 5 (last part)

1.7K 81 7
                                    

" Waaaa!"

Aku baru merapikan kembali lukisan yang miring saat tiba - tiba sang putri lari terburu - buru menaiki tangga dan menabrakku.

" Urg... " sang putri memegang kepalanya.

" Bisakah kau segera berdiri dari tubuhku?" Gumamku sambil menatapnya. 

" Hah? Oh! Maaf! " Sepertinya dia baru sadar kalau menimpa tubuhku. Dia segera berdiri dari tubuhku. Begitu juga aku. 

" Tidakkah kau tahu kalau berubahaya berlarian saat menaiki tangga? Untung saja kita tidak jatuh terguling - guling." Gerutuku sambil menepuk - nepuk bajuku yang terkena debu.

" Maafkan aku. Aku sedang terburu - buru! " Dia tersenyum meminta maaf. Senyum sama yang diberikan Kítrino kalau sedang meminta maaf.

" Sudah ya! " Sang putri sudah mulai menaiki tangga lagi. " Oh ya, jangan ceritakan pada siapa pun tentang di gua tadi! Termasuk kakak! " dan Sang putri sudah terburu – buru menghilang di balik tangga.

Dia pasti baru pulang dari goa itu. Dia masih memakai kaus lusuh lengan panjang yang gulung dan celana panjang. Mungkin dia mau ganti baju. Tadi dia memegang gaun berwarna hijau tozka. Sekarang sudah mendekati jam makan malam, makanya terburu - buru seperti itu. Entah apa alasannya dia rela sampai segitunya agar bisa memainkan pedang.

Aku menuruni tangga hingga lantai terbawah dan segera menuju pintu belakang yang terletak di dekat dapur. Berjalan secepat mungkin melewati ruang tengah. Aku berpapasan dengan para pengawal dan pelayan yang sepertinya sedang mencari sang putri. Sehingga mereka tidak menyadari keberadaanku. Dapur masih sama sibuknya seperti saat tadi aku menyelinap masuk. Aku juga langsung menuju pintu keluar memasuki taman indah yang sekarang dominan berwarna jingga karena pengaruh langit yang sudah memerah.

Aku berjalan cepat melewati taman dan segera melewati pintu jeruji. Jalanan sudah mulai sepi dari para pejalan kaki ataupun kereta kuda. Aku langsung menuju mess para tentara. Selama berada di kota ini aku tinggal di kamar Téchoun bersama Gin.

Aku sudah hampir sampai depan mess ketika aku melihat Téchoun dari arah balai latihan. Dia melambaikan tangan kearahku yang segera kubalas.

" Hai. Baru pulang dari bertemu pangeran? " Tanyanya.

" Umm. Mana Gin? "

" Dia tadi duluan ke mess." Téchoun terdiam. Lalu tersenyum. " Kau pasti bertanya - tanya apa alasanku menyarankanmu pada pangeran. Ayolah. Kita pindah ke atap mess. Aku akan menjelaskannya disana." Dia sudah masuk ke dalam mess.

Karena aku penasaran, aku mengikutinya hingga ke atap mess. Aku mengikutinya duduk di atas genteng berwarna biru tua.

" Jadi... Apa alasannya?" Tanyaku langsung.

" Hmm.. Tidak alasan khusus. Hanya saja, duel itu merupakan taruhan besar untuk Kítrino. Dia akan kehilangan tahta yang seharusnya memang menjadi miliknya. " dia berhenti sejenak. " Kau punya potensial lebih. Mintalah sekali lagi pada Néir untuk mengajarimu. Kau pasti bisa setara dengan Néir atau Zurgré. Terlebih dengan fisikmu yang lebih dari manusia. Itu merupakan keuntungan tersendiri bagimu dan untuk pangeran. Ada yang aneh dengan kerajaan akhir – akhir ini. Walaupun aku tidak tahu kenapa. Dan Kitrino tidak mau membicarakannya begitu juga Zurgré."

Kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing - masing. Cukup lama setelahnya sebelum Téchoun kembali bersuara.

"Baiklah, Selamat berjuang!" Téchoun menepuk bahuku dan bangkit.

Dia sudah menuruni tangga tali kecil menuju kamar. Sementara aku masih duduk di atas genteng memandang bintang - bintang yang sudah mulai nampak dilangit yang gelap. Udara tidak dingin juga tidak hangat, jadi aku memutuskan untuk merebahkan diriku di genteng ini.

Elemetal ForéaWhere stories live. Discover now