Reizen V : part 2

2.1K 73 2
                                    

Kembali aku terbangun dengan rasa sakit seperti leherku benar - benar tertusuk. Butir - butir keringat menghiasi wajahku walaupun hawa di sekitarku terasa dingin. Aku segera mengelap keringat dengan lengan tunikku. Hari masih gelap dan belum ada yang bangun. Aku menggeleng - gelengkan kepalaku mencoba untuk mengenyahkan mimpi itu dari pikiranku. Apa lagi bagian dari mimpi itu saat si jendral hitam bernomor IV itu memberikan luka pada leherku. Aku segera memegang bekas luka di leherku. Aku yakin mimpi itu merupakan fraksi ingatanku.

" Kau terbangun karena mimpi yang kau katakan itu? " Suara Zurgré terdengar tak jauh dariku.

" Ya."

" Segitu menyeramkannya kah? " Zurgré turun dari dahan pohon yang sedari tadi dia gunakan untuk duduk.

Kembali dia turun dengan menggunakan kekuatan anginnya. Rambut keperakannya yang sepanjang tengkuk berkibar saat dia turun. Mata hijaunya sedikit berkilau seperti permata yang baru disepuh. Kilau itu segera memudar saat dia menapakkan kakinya di tanah. Dia berjalan ke arah api unggun yang akan segera kehilangan kehangatannya.

" Tidak. Itu bukan seperti mimpi seram."

" Lalu mimpi apa itu?" Dia berjongkok di dekat api unggun.

" Mimpi itu sebenarnya hanya menggambarkan saat aku melarikan diri. Tapi, tebasan jendral berzirah hitam itu selalu terasa nyata. "

" Melarikan diri? Kau seorang pelarian? " Akhirnya dia menatapku.

" Aku tidak tahu. Kan aku sudah pernah cerita bahwa aku kehilangan seluruh memoriku sebelum setengah tahun yang lalu. Aku juga tidak tahu apakah mimpi itu merupakan bagian dari memoriku atau tidak."

" Hm, yaya. Aku tidak akan mempermasalahkan hal kecil begitu. " Zurgré bangkit dari jongkoknya. " Sambil menunggu yang lain bangun, kau bisa kan menemaniku main pedang? " Zurgré menyeringai.

" Tidak masalah." Dan aku pun berdiri.

Zurgré membawaku kepadang rumput kecil tak jauh dari kemah kami. Dari padang rumput ini, kami masih bisa mengawasi kemah. Zurgré menarik pedang hitam yang mirip dengan milik Téchoun dari pinggangnya. Yang membedakannya hanya ukurannya yang sedikit lebih pendek dan ada sebuah garis emas di tengah pedangnya. Pedang seukuran dengan Aldebaran.

" Kenapa kau memakai pedang berukuran biasa? Bukankah kalau hanya memakai 1 pedang lebih efisien memakai pedang yang sedikit lebih panjang? " Tanyaku sambil menunjuk pedang Zurgré.

" Pedang ini dibuat berdasarkan cara bertarungku. Aku tidak perlu pedang panjang seperti Téchoun karena aku bukan tipe yang akan selalu memakai pedang. Aku lebih suka memakai busur dan panah. " Katanya sambil memandang pedangnya. " Sudah. Ayo mulai saja!" Dia memasang kuda - kuda.

Aku juga sudah mengambil kuda - kuda, menutup mataku dan mempertajam pendengaranku. Aku mendengar suara hentakan kakinya. Aku bisa menangkis sebagian besar serangan Zurgré dengan memperkirakan semua gerakan Zurgré dari suara hentakan kakinya. Zras!! Pedang Zurgré mengenai pipiku kananku. Aku tidak mendengar gerakannya! Aku segera membuka mataku untuk melihat serangannya. Tapi, Serangan - seranganmjya berikutnya pun sebagian besar masuk. Aku dari tadi hanya berhasil menahan serangannya tanpa sekali pun berhasil memasukkan serangannya.

" Lambat!!"

Zurgré menyerang dengan kuat dari bawah sampai pedang di tangan kiriku terpental. Ujung mata pedangnya sudah berada tepat diatas kulit leherku.

" Reaksimu terlalu lambat. Kau akan mati kalau masih memakai cara bertarungmu yang sekarang tanpa kau kombinasikan." Dan Zurgré menarik pedangnya dari leherku.

" Kau terlalu terpaku pada langkah kaki lawanmu. Bagaimana kalau kau menemukan lawan sepertiku yang bisa meredam suara langkah kakiku? Dan itu pertarungan hidup mati? Pakai Aura? Tentara tingkat II saja bisa menyembunyikannya. "

Elemetal ForéaWhere stories live. Discover now