19. Sebuah Sebab

30.2K 1.7K 44
                                    

Tepukan dari belakang menguatkanku. Aku hampir terjatuh dari tangga karena melamun. Suasana bandara lumayan ramai dari biasanya karena tengah musim libur. Aku baru saja tiba di Bandung dua menit yang lalu.

"Semangat lah sedikit. Jangan seperti orang yang kehilangan tujuan hidup," ujar Jason dengan tawa.

Tidak pernah terpikirkan aku jadi akrab dengan Jason begini. Saat Jason jujur bahwa dia pernah menyukai Tissa, aku melemah. Wajar saja banyak yang menyukai istriku, karena aku pun tak pernah begitu memperhatikannya. Kesalahanku.

"Ayo, taksinya sudah datang."

Aku mengikuti langkah Jason memasuki taksi. Koper sudah di masukkan ke dalam bagasi.

"Ke hotel atau langsung ke rumah Tissa?"

"Hotel saja. Aku mau istirahat."

"Oke."

Sampai di hotel, aku langsung menghempaskan diri ke kasur. Kepalaku pusing sekali rasanya. Aku tidak bisa berpikir jernih. Tubuhku sedang tidak sehat akhir-akhir ini.

Aku duduk dan mengambil antibiotik di dalam ranselku dan meminumnya langsung. Stres sudah membuatku lupa dengan keadaan diri sendiri. Aku memijat dahiku.

Sebuah pesan mengalihkan perhatianku.

Menyerahlah. Sekarang ia sudah menjadi milikku.

Tidak, aku tidak akan menyerahkan Tissa begitu saja. Seberat apapun masalah yang aku hadapi, aku harus kuat dan bertahan. Aku tidak boleh goyah. Demi rumah tangga ini. Demi Tissa. Demi anak kami.

Aku akan menemui Tissa malam ini.

-

Tissa's POV

Aku memandangi bucket bunga mawar merah di tanganku. Baru saja Fandi memberinya. Entah apa tujuan Fandi. Pernyataan cintanya semalam sukses membuatku tertawa. Dia aneh. Mencintai wanita yang sudah menikah? Benar-benar aneh.

Ini sedikit membuatku bimbang. Disisi lain Raffa sudah menyakitiku. Aku menjadi korban disini. Mungkin sekarang malah Raffa sedang bersenang-senang dengan Nevara? Aku tidak tahu. Semakin aku memikirkannya, semakin berkurang rasa kepercayaanku. Apa yang harus aku lakukan? Menerima cinta Fandi, itu gila.

Lagipula aku sedang hamil dan malah aku melupakan keadaanku ini. Astaga, apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apa aku sudah gila? Kemana Tissa yang dulu? Kemana hatiku untuk Raffa?

Tidak, aku tidak boleh begini. Aku hanya mencintai Raffa dan anak kami. Yang aku pikirkan tadi salah besar. Aku terlalu egois. Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku jahat.

Hah, rasanya mau gila.

Aku masih berada di cafe, menunggu Fandi kembali dari toilet. Sebenarnya apa yang aku lakukan disini?

"Mbak, mau ke suatu tempat?" Tiba-tiba ia datang dan langsung bertanya.

"Eh? Hmm, nggak sih."

"Ya udah, kalau gitu kita ke toko kaset yuk."

"Ngapain?"

"Udah, ayok."

Dia menarik tanganku untuk berdiri. Dan langsung mendorongku masuk ke mobil. Aku tertegun melihat sikapnya yang aneh begini. Tidak sadarkah dia kalau aku adalah istri orang?

Setelah masuk ke dalam mobil, Fandi memasang seat belt ku. Hal itu seketika membuatku canggung karena posisi yang sedekat ini. Aku mengerjap mataku, menyadarkan diri sendiri.

"Mau ngapain sih ke toko kaset?" tanyaku pelan.

"Hem, ada kaset film yang mau aku beli. Aku langganan toko itu. Kaset-kaset di sana bagus-bagus dan terbaru semua. Mbak pasti suka."

After The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang