Part XVII

7.8K 455 2
                                    

Happy reading!^^

*****
DEMI

Kami bertiga-aku,Brian,Lee- sedang di dalam mobil menuju rumah Vica dan Kim.
Seperti biasa, setiap minggu pasti Brian mengajakku dan Lee untuk beribadah ke gereja.

Jujur, sebelum ketemu sama Brian dulu, aku paling males ke gereja di hari minggu, karena hari minggu itu bagiku waktunya untuk santai-santai, tidur sampai sore.

Mamaku saja sampe bosan memaksaku untuk ke gereja. Tapi Brian tidak pernah bosan, tiap hari minggu pagi jam enam dia sudah ada di apartment ku, memaksaku untuk bangun dan siap-siap berangkat.

Brian itu orang yang religius, taat sama agama, rajin ke gereja. Mungkin Tuhan tahu aku males ke gereja, makanya dia mengirimi orang macem Brian ke hidupku.

Sekarang setiap hari minggu pagi aku udah nangkring di gereja, dulu mah jam segini masih tidur sampe siang, paling banter nih ya, aku ke gereja pas natal, paskah atau hari besar lainnya. Selain itu boro-boro.

"Mommy nanti ada Dylan nggak di rumah aunty Vica?" tanya Lee padaku

"Emm, ada kayaknya. Kenapa emang?"

"Kemarin Didi janji sama aku, katanya mau bawain aku cokelat buatan aunty Lia." jelasnya

Brian melirik Lee tajam lewat kaca tengah, "Dylan mau kasih kamu cokelat?"

"Iya. Didi udah janji."

Aku mencoba mengingat-ingat tanggal berapa ya sekarang? Tumben-tumbenan anaknya Dahlia ngasih cokelat ke Lee? Dylan itu pelit kalau urusan masak kan mamanya, apalagi cokelat buatan mamanya, bagi Dy cuma dia yang boleh makan cokelat buatan mama Lia.

Aku mengingat sesuatu, "hari ini kan tanggal empat belas february, hari valentine, makanya Dylan kasih kamu cokelat ya Lee?" Brian melirikku tajam. Aku tahu apa yang ada di pikirannya.

"Hari valentine apa mommy?" tanya Lee bingung

"Hari valentine itu hari kasih sayang. Kalau Lee sayang sama seseorang, Lee boleh kasih orang tersebut cokelat atau hadiah." jelasku padanya. Lee mangangguk mengerti.

"Tapi ya menurut mommy, kasih sayang itu setiap hari, engga ada hari khususnya." lanjutku.

"Berarti kamu sayang sama aku setiap hari dong, Dem?" ujar Brian menyeringai

Aku mendelik kesal padanya, "aku sayangnya sama Lee bukan sama kamu."

Brian terkekeh lalu berkata, "kamu mah nggak usah malu-malu gitu. Aku tau kok."

"Bodo amat Brian!" sungutku kesal

"Lee, nanti jangan dekat-dekat sama Dylan ya? Jangan mau di pegang-pegang sama Dylan." Tentu saja bukan aku yang berbicara seperti itu.

Sepanjang jalan, Brian terus saja menasehati Lee supaya tidak terlalu dekat dengan Dylan. Aku tidak tahu mengapa Brian bisa seposesif itu, padahal menurutku mereka juga tidak akan melebihi batas, paling cuma sebatas pegang tangan, nggak sampai ciuman.

Aku menoleh ke belakang dan melihat Lee yang sudah mulai bosan mendengarkan ceramah daddynya. Aku meringis, kasihan Lee. Aku yakin ceramah Brian tentang hal ini tidak ada habisnya sampai kapanpun, bisa jadi mungkin sampai Lee dewasa nanti.

*****

Kami bertiga memasuki rumah Vica, semenjak Vica dan Kim pulang dari LA selepas melahirkan si kembar, rumah mereka selalu menjadi tempat kami berkumpul, atau bisa di sebut basecamp. Aku melirik Brian yang sedang mengandeng tangan Lee dengan posesif.

Be FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang