Part XIX

7.1K 415 0
                                    

Happy reading!^^

*****
BRIAN

Sial! Mengapa bisa lepas kendali seperti itu? Aku mencium tidak bukan hanya mencium tapi melumat bibir Demi. Bibir yang sangat manis, oh Tuhan. Seingatku dulu Demi bahkan tidak tahu caranya berciuman. Tapi apa itu tadi? Dia bisa balas menciumku. Sial, dia belajar itu dari teman kencannya? Atau dari siapa? Memikirkan hal tersebut membuatku kesal.

Aku melirik jam di nakas, sudah lima belas menit, mengapa Demi tidak balik ke kamar, Apa dia marah padaku?
Aku keluar dari kamarnya dan menuju kamar Lee yang berada tepat di samping kamar kami maksudku Demi.

Aku membuka pintu dan melihat Demi sedang memeluk Lee, apa dia teridur? Aku berjalan pelan menghampirinya.

"Demi?" panggilku pelan "Dem?"

"Hem," gumamnya

"You sleep?" Tentu saja dia tidur bodoh! "Ayo pindah ke kamar," aku mencoba untuk membangunkannya.

"Nggak."

"Dem, ayolah. Kasur Lee nggak muat buat tidur bertiga." kataku

"Tapi kalau berdua muat. Sana gih kamu pulang." usirnya, kurang ajar.

Aku menatap Demi kesal, dia bahkan tidak membuka matanya. Oke aku terpaksa menggendongnya.

"Jangan salahin aku, kamu yang mau kayak gini." kataku sambil mengendongnya bride-style.

Demi membuka matanya dan menatapku kesal. Aku berjalan keluar kamar Lee dengan berhati-hati takut membangunkan Lee yang sedang tidur.

"Tutup pintunya, Dem" ujarku begitu sampai di luar kamar Lee.

Demi mengangkat sebelah alisnya, "tolong" ujarnya

Aku menghela napas, "Demi, tolong tutup pintunya." ulangku

Demi menutup pintu, lalu berkata, "lain kali biasain pake 'tolong' biar sopan. Aku bahkan lebih tua dari kamu B!"

Aku memasuki kamar kami lalu menutup pintu dengan kakiku.

"Cuma setahun doang" kataku lalu menurunkan nya di ranjang.

"Tetap aja! Aku yang lahir duluan dari kamu. Kamu baru lahir aku udah bisa jalan." ujarnya kesal

Aku ikut tidur di sampingnya dan membenarkan letak selimut kami. "Trus kamu mau aku panggil mbak Demi atau kakak Demi?"

Demi menatapku kesal, "ya engga!"

"Yaudah jangan bawel." Kupeluk tubuhnya erat dan memejamkan mata.

"Ngapain sih, sana pulang!" Demi berusaha mendorong tubuhku yang tentu saja tidak bisa, tubuhku lebih besar darinya.

"Diem, Demi. Aku ngantuk." kataku pelan

"Kalau ngantuk ya pulang, tidur di rumah." Aku membuka mataku menatapnya tajam.

"Demi, jangan bawel. Aku tabok nih bibir kamu." kataku kesal

"Tabok nih tabok." Bukannya takut dia malah memajukan bibirnya padaku. Astaga, apa dia mencoba memancingku? Aku mencium bibirnya sebentar lalu memejamkan mata kembali.

"Tidur Demi." perintahku

Tidak ada suara ataupun pergerakan lagi darinya, mungkin Demi sudah tertidur. Baru saja aku akan masuk ke alam mimpi ketika mendengar suaranya lagi.

"Kenapa kamu cium aku, B?" tanyanya pelan

"Because i can." jawabku mengantuk

"Kamu bilang dulu, kamu cuma cium bibir pacar kamu aja. Aku kan bukan pacar kamu." Aku langsung membuka mataku dan melihat Demi yang sedang menatapku.

"Aku pernah berkata begitu?" Ku lihat dia mengangguk, "kamu kan ibunya anak aku." lanjutku

"Tapi aku bukan pacar kamu. Itu beda Brian."

"Demi astaga, apa aku harus perjelas? Apa harus seperti abege yang menembak gebetannya? Kamu belum mengerti juga kalau tiga bulan ini aku mencoba menyadarkanmu? Apa semua perempuan nggak peka?"

"Brian, perempuan itu butuh hubungan yang jelas. Kalau emang kamu cinta sama aku, ya bilang. Kalau kamu mau kita pacaran, ya kamu ngomong jangan diem aja. Kalau kamu mau perempuan peka ya bilang jangan main kode, emang kamu pikir perempuan cenayang yang bisa nebak pikiran lelaki." jelasnya

Aku menatap matanya lekat, "i love you." kataku

"Jangan bercanda, Brian!" Demi menatapku kesal.

Aku melepaskan pelukkan ku lalu duduk bersandar di kepala ranjang dan menatapnya kesal, "mau kamu apa sih Demi? Kamu bilang kalau aku cinta sama kamu, ya bilang. Ya aku tadi bilang. Aku cinta sama kamu, i love you,  Je t'aime."

Demi duduk berhadapan denganku dan menatapku tidak percaya, "kamu cinta sama aku? Cinta beneran, Brian?"

"Ya."

"Apakah tidak ada perempuan yang mau denganmu lagi? Jadi kamu memutuskan menjadikanku korban selanjutnya?" cibirnya

"Jesus! You don't trust me?"

"No. Kamu brengsek, Brian." ujarnya santai

Apakah orang brengsek tidak bisa tobat menurutnya? Aku yakin dengan sangat yakin, aku jatuh cinta padanya entah dari kapan. Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Dan dia tidak mempercayai itu?

"I love you, Demi. Seriously."

"Why you love me? Apa alasannya, Brian?"

Mengapa semua perempuan sangat bertele-tele? Setiap ucapan pasti harus ada alasannya. Seperti soal essay.

"I love you because your eyes, your lips, your nose, your hand, your boobs, your booty, you..."

"You love me because my body?" potongnya.

Aku tidak mengerti jalan pikiran Demi, tadi dia menanyakan alasan mengapa aku cinta padanya dan ketika aku jawab dia kesal. Apa maunya sebenarnya?

"Terserahlah Demi terserah." Aku mengalihkan pandangan darinya.

Suasana hening, aku melirik Demi yang masih menatapku dengan tatapan meminta penjelasan. Aku menghela napas, lalu kembali menatapnya. Baru saja aku akan berbicara dia sudah memotongku.

"Aku nggak percaya kamu cinta sama aku." Aku menggeleng mendengarnya.

Aku berdiri lalu berkata padanya, "i just want you know, I love you. Just it. If you don't trust me, whatever." Aku berjalan keluar dari kamarnya dan menuju apartemenku melalui connection door.

Apakah dia tidak bisa hanya percaya padaku? Percaya bahwa aku cinta padanya. God, i love her.

To be continued...
*****
Thank you for read, don't forget to vote, guys!😁

Be FamilyDonde viven las historias. Descúbrelo ahora