Chapter 3

807 136 599
                                    

Griffin

AKU membawa Rider ke padang rumput setelah kurang lebih dua jam bersikeras menjadikannya kuda baik. Memasang tali kekang kepadanya, kami berjalan berdampingan. Karena aku pernah diseruduk saat sedang banyak pikiran. Aku menarik topi Stetson dari kepala sementara membiarkan Rider beristirahat sambil makan.

Celana Levis berdebu ketika aku duduk di bawah pohon apel. Memandangi ujung sepatu bot yang sedikit membuka, kuselipkan sebatang gandum di sudut bibir. Selain keindahan Lakewood selatan yang tenang, seketika terganggu mendengar banting kaleng agak jauh dari sini.

Aku mendekati Rider, berlutut, mengelus sisi kepalanya dengan lembut, "Tetap di sini. Aku akan kembali."

Rider meringkik.

Sepatu bot ini menciptakan suara berisik begitu menginjak jalan beraspal yang mati. Kawasan ini memang mati. Jarang dilewati kendaraan. Mataku menyipit, menimbulkan kerutan-kerutan tipis tertutupi oleh topi Stetson, dan bisa melihat bayanganku di bawah kaki, tercengang melihat seorang wanita duduk dengan tungkai diangkat dan satu kakinya dibiarkan terbaring. Aku dapat melihat kaki jenjang telanjangnya dari satu setengah kilometer. Rambut pendek sebahu, cokelat gelap, bergelombang. Aku merasa wanita itu aneh: Bagaimana caranya duduk di jalan; duduk menyila di bemper Mustang Merah; atau bahkan mondar-mandir seperti orang gila.

Dia tersentak ketika aku di hadapannya. "Oh, hai," katanya.

Aku diam saja.

Wanita itu berkata, "Apa itu caramu berkomunikasi terhadap orang lain? Menyebalkan!"

"Kau bicara kasar."

"Tidak ada yang menyebut 'kasar', koboi." Wanita berambut cokelat itu menyilangkan tangan di dada.

"Apa yang membuatmu terperangkap di Lakewood?" tanyaku datar.

Wanita ini mengalihkan pandang, berkeliling. Dengan bingung, kembali kepadaku. Sorot matanya menyala-nyala dan aku tahu tindakan dia selanjutnya.

Dia mengingatkanku pada Anitta Lowe. Satu-satunya cewek yang pernah kulihat dan bodoh mengenalnya. Dia memanipulasi segalanya---nyaris mencuri lahan peternakan warisan keluargaku. Aku teramat bodoh jatuh cinta kepadanya, hanya karena dia bisa menunggang kuda sekaligus memiliki tumit kaki indah yang mana pria tak mampu bergerak ke mana-mana. Anitta juga cewek kota, New York, yang mana anak dari pebisnis dari Wall Street. Aku tak pernah mau berkunjung ke sana, setidaknya Oklahoma jauh lebih menyenangkan daripada menetap di New York seperti orang dungu.

"Ban mobilku meletus," katanya, masih datar. "Tidak ada sinyal ponsel di sini. Apapun."

"Oh, sayang sekali," kataku. "Akan kuhubungi Tony untuk memperbaiki mobilmu." Kudekatkan ponsel ke telinga. "Yo, Tony! Bisakah kau datang kemari untuk melihat keganjilan mengerikan yang baru saja kulihat? Aku menemukan mobil payah terjebak di sini. Datang secepatnya," kataku di telepon.

Membersihkan tenggorokan, menghadapku, "Jadi, begini kau sebut mobilku payah?"

"Itu benar."

"Kau tak tampak seperti Indiana Jones atau Marlboro Cowboy Man."

Aku mengabaikan omong kosongnya.

Melihatnya membuatku sedikit gila. Maksudku, ketika tidak sengaja memerhatikan kaki jenjang indahnya yang dibaluti celana jins pendek di atas lutut dengan kaus putih bergambar bendera Amerika Serikat di dadanya. Kaus itu sedikit kebesaran pada tubuhnya. Aku penasaran apa isi di balik kausnya.

Anitta memabukkanku. Ketika menemukannya di arena sebelum kontes dimulai, dapat kulihat matanya tertakjub-takjub kepadaku. Mendecak pada kuda betinanya untuk mendekatiku. Suara lembut Anitta sungguh meledak-ledak. Tak tahu pasti apa maksudnya. Seingatku dia berkata bahwa aku penunggang kuda seksi. Sangat sangat seksi di Colorado. Apalagi pandangan wanita itu tak pernah lepas dari kemeja flanel merah yang sedikit ketat sehingga secara menyeluruh menunjukkan otot-ototku di sana. Dia berbisik. Tetap, suaranya membawa gairah. Membara. Lalu, dengan bodoh aku melamarnya di tempat.

Aku ingat ciuman pertamaku di sana. Membelai wajahnya. Mencium rahangnya agak lebar. Menggigit bibir bawah Anitta. Semuanya sulit dijauhkan. Itu bukan pengkhianatan. Sungguh. Dulu aku selalu membayangkan bibir seksi wanita lokal, termasuk wanita Jackson. Sebab, cewek-cewek di sana dikenal luar biasa panas. Dan, untuk pertama kalinya menyentuh bahu telanjangnya, dia mendesah, menyebut namaku.

Ponselku bergetar. Tony meng-sms semenit kemudian.

Aku ada masalah dalam perjalanan. Katakan di mana lokasi penemuan terbarumu. Kalau kau keberatan menunggu terlalu lama, tinggalkan penemuanmu di sana dan biarkan aku mengurus semuanya.

Kuberitahu kepada wanita di hadapanku, "Kita harus pergi."

Alisnya mendekat. "Membiarkan mobilku sendirian di kota mati ini? Sungguh?"

"Kau bisa menunggu di sini sepanjang hari," kataku. Meninggalkan tempat.

Melompati pagar kayu membentang luas pada padang rumput persegi, aku kembali menghampiri Rider yang masih menggigit rumput di bawahnya. Meringkik seperti biasa. Bukan kemarahan atau keagresifan atau setidaknya tak seperti Hereford yang kini sudah diurus Charlie.

Aku tidak tahu wanita satu itu mengikutiku. Membawa tas besar di punggungnya serta satu tas digenggam erat di tangannya, dia merosot ke rerumputan dan telentang, dengan kedua tangan di sisi lain seperti patung Kristus Panebus. Terpikir olehku dia sejenis wanita merepotkan.

Tas besar itu tampak seperti tas pendaki. Tongkat hoki mencuat keluar dari tas itu, jatuh menyebar di sekitarnya. Bola bisbol menggelinding dan berhenti di depan telapak sepatu bot payahku, membungkuk ke benda itu kemudian memandang berkeliling seakan baru saja menemukan mutiara asli dari kerang.

Satu hal tak ingin kulakukan: aku benci wanita. Anitta memanipulasi keluargaku dan dialah penyebab Dad meninggal. Serangan jantung mendadak sialan menyerang lagi saat petugas bank dan deputi sherif mendatangi rumah kami, mengatakan mereka akan menyita rumah peternakan dan seluruhnya. Tentu kami marah. Seandainya Larry tak menikahi sialan Holly, kini dia bersama kami mengurus peternakan warisan keluarga Dad. Dia pertama penghancur segalanya.

Anitta juga telah merampok sebagian finansialku. Aku sungguh sangat bodoh. Kecantikan sialannya membuat kepalaku melayang-layang. Sudah hampir empat tahun menyendiri, akan tetapi aku lebih suka seperti ini daripada menikah yang pada akhirnya terjadi hal sama.

Mendesah berat, menekankan betis ke sisi Rider untuk membelok keluar dari pagar. Dan, berhenti membelakangi kepala wanita itu yang terpejam. "Kau mau tidur di sini sampai mobilmu selesai diperbaiki?"

Wanita berambut pendek sebahu itu terkesiap. Gemetar kaget. Bangkit untuk duduk, kemudian berbalik melihat Rider hingga ke atas untuk melihatku. Mata cokelatnya bersinar ketika cahaya matahari memantul ke pupil matanya yang---sesungguhnya---indah. Anitta memiliki mata biru laut. Namun, pengkhianatan telah merenggut sisi karakterku.

Dia berdiri, mendongak memandangku, "Kau tak perlu kasar padaku," katanya, berkacak pinggang. Menggeleng pelan. "Dan, aku juga tidak keberatan tidur di sini sampai setidaknya mobilku selesai diperbaiki, maka dengan segera aku menendang bokongku dari tempat menyedihkan ini."

"Tak heran mengapa wanita kota sangat kasar."

Wanita itu menanggapi, suaranya pelan, rendah, tetapi tegas. "Kau belum tahu pasti 'kasar' yang kau maksud." Dia melangkah mendekat. Jari-jari tangannya bergerak menyentuh permukaan tungkai hingga ke pahaku dibaluti celana Levis berdebu. Wanita ini luar biasa menggilakan. Aku merasa bagian bawah tubuhku bereaksi. "Akan kutunjukkan padamu apa arti 'kasar' sesungguhnya," bisiknya.

Aku mengabaikan perkataan bodohnya. "Siapa namamu?"

"Amanda Phoenix."

"Baik," kataku. "Kau bertemu Griffin Redford. Penunggang kuda--"

Bahkan belum selesai bicara Amanda menimpali, "Ya, ya. Kau penunggang kuda terhebat di Colorado."

Mengerutkan alis, "Bagaimana kau tahu?"

"Hanya menebak saja."

Colorado DesireWhere stories live. Discover now