Chapter 10

403 71 357
                                    

Amanda

"OH!" Aku tersentak ke belakang saat pria berbadan besar menutup pintu dari belakang—melalui kakinya. "Kau mengejutkanku."

Pria berambut keriting melangkahkan kaki dengan mantap ke arahku. Matanya jatuh ke permukaan lantai di mana botol-botol telah diisi penuh oleh susu yang siap dikirim. Setelah Griffin memberitahuku bahwa kami akan sibuk, aku tidak tahu ini pekerjaan sampingan Griffin Redford. Dia dan Charlie tidak menceritakan apapun tentang sapi-sapi. Sejak Wayne datang menagih utang lama, membuat urat-urat di kepala Griffin menegang. Aneh. Aku sama sekali tak mengerti kakek-kakek terdahulu mereka terlibat semacam hal ini.

Dia tersenyum tenang. "Maaf, Nona," katanya. "Aku kemari untuk mengambil susu dan kejuku."

Mengapa Griffin tidak memberitahu bahwa pria ini adalah pelanggan setianya—atau setidaknya tetap berlangganan walaupun karakter Griffin yang kaku dan gila.

Dengan mantap, aku melompati botol-botol di bawahku begitu aku bangkit dari duduk untuk menjabat tangan kepadanya. Dia menyambut. Tangannya besar. Kuat. Seperti Griffin ketika dia menemukanku. "Aku Amanda Phoenix."

"The Big Gambino."

Alisku terangkat sebelah, "Julukanmu di kota ini—atau nama sesungguhnya?"

Bibir Gambino melengkung lebar. Terpejam selagi tertawa pendek. "Itu nama keluargaku."

"Baik," kataku pada akhirnya. "Griffin tidak bicara apapun tentangmu."

"Dia tidak punya waktu untuk itu," katanya. "Setelah hari-hari buruk telah membawa petaka kepadanya, Griff menjadi penyendiri."

"Apa yang membuatnya penyendiri?"

Gambino menempatkan pantat di dingklik kecil dekat jerami sementara aku memasukkan susu botol ke kardus. Masing-masing diisi barang yang berbeda. Selagi pagi masih cukup panjang, inilah kesempatan apik untuk mengetahui tentang Griffin Redford melalui Gambino.

Dengan penuh kehati-hatian aku meletakkan kardus di bawah kakinya. Gambino memandang berkeliling. Tempat ini kuno. Setiap menyinggung mengenai peternakan kukira Griffin bakal membentak atau mengusir. Aku juga menunggu dia mengusirku! Juga merasa cara inilah pria jantan itu mempekerjakanku sebagai peternak sapi untuk balas budi. Kupikir tidak masalah dia melakukan hal ini kepadaku—setidaknya setelah meninggalkan kota ini, aku jadi mengerti: seperti inilah rasanya hidup.

Gambino menanyakan kabarku. Kukatakan kepadanya kabarku baik, begitu pula dengannya. Dia membantuku mengangkat kardus susu ke truk belakangnya. Lalu, menawarkan apakah ingin bergabung pergi ke kota sekaligus akan mengenalkanku pada teman-teman Gambino.

"Sama sekali tidak masalah," kataku. Melompat masuk, duduk di kursi depan di sampingnya. Gambino menyalakan mesin dan melaju.

Meletakkan siku tangan di tempat kaca jendela yang terbuka, membiarkan angin masuk mengibarkan helai rambutku ke depan wajah sampai menggelitik telinga. Terasa gatal. Menyingkirkan rambut ke samping, ke belakang telinga dengan pandangan tetap fokus ke depan, aku sedikit canggung. Ketika kami keluar dari desa menuju kota, truk berhenti. Menepi di depan bar.

Kawasan ini benar-benar menakjubkan. Seandainya Charlie membawaku ke sini aku merasa teramat senang. Sekumpulan pria duduk bersandar di kursi goyang kayu, sambil menempatkan kakinya di atas paha. Tertawa. Mungkin tradisi para koboi adalah selalu menggigit batang gandum di sudut bibir. Bir berjejer rapi di meja bundar kayu pinus dekat pintu toko material. Ketiga pria itu menyapa Gambino. Tidak mengharapkan mereka melihatku atau sekadar menyapa.

Colorado DesireWhere stories live. Discover now