Chapter 5

627 104 394
                                    

Griffin

AKU memerhatikan Amanda bekerja. Ketika dia menggerutu, dia tampak lucu. Membanting jerami ke tempat yang kukatakan dan Amanda melakukannya dengan baik. Aku merasa terganggu mengabaikannya, karena dari cara bicara atau cara memandangku sungguh berlainan dengan Anitta Lowe. Anitta, gadis manja sekaligus keras kepala dan tak pernah mau melakukan pekerjaan rumah. Kebiasaannya selalu merawat kuku-kuku tangan, membuat gaya rambut baru, hingga kami hampir menghabiskan setiap waktu untuk bercinta. Tubuhnya ramping. Halus. Bibir lembutnya. Kugelengkan kepala, menyingkir seluruh momen pernah kami alami.

Amanda menancapkan cabang di tumpukan jerami, menepuk tangan––membersihkan sisa-sisa jerami menempel di tangannya. Lalu, bokongnya. Amanda punya lekuk tubuh yang indah sampai merasakan tubuh bagian bawahku berdenyut, lagi. Dia tidak montok seperti Anitta. Perlu diingat bahwa tak akan pernah mau bicara sopan kepada wanita.

Ketika aku hendak turun, Amanda mendongak, memandangku dari bawah, "Sedang apa kau di atas sana?"

"Membersihkan atap."

"Kau sama sekali tidak membutuhkan bantuan?"

Kujawab kepadanya selagi menuruni tangga menuju ke lantai, dan melompat memutar pinggul menghadapnya. Dalam dekat, mata cokelatnya cerah. Mengagumkan. "Aku selalu mengerjakan tugas sendiri."

Amanda melipat tangan di dada, mengejekku, "Sungguh? Kurasa kau terlalu cepat mengerjakannya." Jari telunjuknya bergerak ke atas, ke segala arah sebelum jatuh kepadaku lagi. Berpusat pada mataku. "Lihat, masih ada debu di sudut atap. Kau melupakannya."

Aku cemberut. "Terpikir olehku cewek kota dilahirkan menjengkelkan."

"Dan, kau melukai perasaanku sebagai cewek kota."

"Aku tidak pernah menyinggung apapun," kataku.

Aku tahu kedengarannya menyakitkan. Setiap melihat wanita itu, dia kembali mengingatkanku pada Anitta. Aku sudah berusaha melupakan seluruh kehidupan kami, tapi Mustang Merahnya mandek di daerah Englewood. Mau tidak mau, suka tidak suka, terpaksa meninggalkannya di rumahku.

Dilihat dari sisi kebaikan, Amanda sungguh lebih baik. Anitta bahkan hampir tidak pernah menghabiskan waktu untukku dan cuma mementingkan fesyen apalagi kalau ada kontes kecantikan di Englewood. Atau memaksaku pergi ke Montana untuk ikut kontes kecantikan lain. Memikirkan urusan ternak, dia tak pernah. Charlie berkali-kali memberitahuku bahwa Anitta bukan wanita kota yang baik.

Aku menghentikan Amanda, dia berbalik, memandangku di pintu, "Dengar," kudekatinya hingga kami berhadap-hadapan, "aku menyesal. Charlie benar. Kau bukan seperti dia."

Amanda mengernyit. "Dia?"

"Mantan tunanganku." Terasa sangat berat menyebut itu. Tapi, Amanda harus tahu bahwa aku punya masa pahit. Biarpun begitu, dia takkan peduli.

Alih-alih bertanya, "Oh."

Mata cokelatnya menusukku. Sejujurnya, dari cara dia memandang sudah jelas membuatku merinding. Dan, mataku beralih ke bibirnya sebelum menyadari bahwa Amanda sedang memerhatikanku. "Charlie bicara tentangmu. Kau menyenangkan, katanya. Kalian, maksudku, Anitta dan kau punya karakter teramat berlawanan."

"Kau tidak perlu menceritakan seluruh kisahmu."

"Aku harus," kataku. "Kau harus mendengarkan yang satu ini."

Kujelaskan kepadanya tentang empat tahun lalu. Dipertemukannya aku dengan Anitta di rodeo. Lalu, segalanya. Tampaknya Amanda serius mendengarkanku sehingga saat aku bicara, tak sekalipun menyanggah atau membuatku marah.

Colorado DesireWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu