Chapter 15

294 54 227
                                    

Griffin

"Aku sedang tidak ingin membicarakan itu." Kulihat Amanda mengangguk—entah peduli atau tidak, bukan masalahku.

Charlie menyetujui, "Dia benar. Kami ingin melupakan masalah itu sejenak sampai kira-kira kami akan memikirkan hal tentangnya lagi," jelasnya kepada Amanda Phoenix.

Adikku dan aku kembali menempatkan diri di meja makan—Charlie duduk berhadap-hadapan dengan Amanda sementara aku di samping wanita kota bermata agak sipit itu. Aku jarang—hampir tidak pernah—menemukan jenis wanita seperti dia di Lakewood. Matanya kecil, tetapi tajam dan menggoda. Satu hal utama pria tertarik terhadap wanita macam dia adalah warna kulit—atau bahkan bokong.

Menjengkelkan lagi Amanda menghabiskan Hunter's Staw-ku.

Ini tidak bisa diterima. Aku tidak mampu bertahan hidup tanpa makanan tersebut, yang dimasak luar biasa enak oleh adik sialan kesayanganku.

Jangan katakan lagi tentang kakak bajingan itu. Bahkan aku enggan menyebutnya atau menganggapnya kakakku sendiri. Tidak akan pernah.

"Terus terang saja, aku tersinggung sekali."

Aku tahu dia melirikku, Charlie yang terkaget-kaget tacosnya tersisa setengah kemudian tertawa geli ke Amanda Phoenix. "Ini luar biasa! Sungguh. Aku tak percaya kau melakukannya semua. Rasanya seperti Griff akan kehilangan separuh hidupnya karena Hunter's Staw." Charlie menunjukku, masih tertawa, "Lihat, Mandy! Kau bisa lihat betapa menjijikkannya Griff padamu. Kau harus melakukan balas dendam versi dirimu, Griff."

"Terus terang saja, aku tidak peduli."

Oke. Cukup adil.

Kurebut mangkuk dari hadapan Amanda. Wanita itu mendecak sebelum sedetik berikutnya bangkit berdiri, mendorong kursi ke belakang, menatapku datar.  Tapi, aku tak peduli. Aku senang menggodanya.

***

Jumat pagi, Amanda membereskan barang-barang di basemen. Muncul seraya membawa kardus-kardus kotor untuk dibuang ke tempat sampah di ujung kota. Dia menghubungi Frances—gadis ditemuinya di bar saat itu. Amanda menceritakan semuanya dan dia sudah berjanji kepada Frances untuk belajar bahasa asing dimilikinya.

Hari Sabtu, tepatnya pukul sembilan, Rider dibimbing Amanda di padang rumput. Sebelumnya, dia meminta izin padaku untuk meminjam Rider sementara—sebenarnya dia ingin membawa Mustang, tapi takut aku akan membentaknya. Dia bicara seakan bertatap muka dengan guru pembimbing terkejam di dunia. Aku mulai tertawa.

Charlie benar. Dia berbeda. Adikku bisa dengan mudah menyimpulkan karakter gadis-gadis mana yang baik dan tidak. Dia memberitahuku supaya tidak terus bersikap seakan wanita adalah manusia menjijikkan. Aku bukan seperti Charlie. Meskipun adik laki-laki sialanku setiap hari selalu dikelilingi para cewek di pantai, tak pernah sekalipun berhenti menasihatiku agar berbuat baik pada semua orang dan berhenti menyalahkan takdir.

"Kau yakin?"

Charlie mengangguk. "Tentu. Kau harus percaya Amanda bukan seperti Keparat Lowe."

"Aku tahu," kataku. "Aku lelah memikirkan wanita itu bahkan setiap malam aku selalu memikirkan tentangnya dan kau pasti akan beranggapan ini berlebihan."

"Pastinya," seru adik laki-lakiku. Mengikat tali sepatu dan berdiri. Dia menarikku dan memeluk, lalu berkata, "Aku akan mengajak Amanda pergi ke suatu tempat. Kuharap kau tak keberatan."

Aku tidak mengerti maksudnya. Jadi, kukatakan, "Bawa saja dia. Buat wanita itu terkesan oleh daerah kecil ini."

Tersenyum. Charlie keluar, begitu Amanda masuk ke rumah peternakan dan keluar, dia berlari-lari kecil menghampiri yang kemudian masuk ke dalam truk pikap dimana Charlie sedang menunggu.

Dadaku sesak mengingat Mom dan Dad melalui pigura di dinding kamar Charlie. Aku sengaja tidak menaruh foto mereka di kamarku, karena aku terlalu cengeng melihat kebahagiaan keduanya yang mana saling memandang, tersenyum di ladang gandum—tempat di mana mereka berdua bertemu pertama kali. Bisa dibuktikan bahwa itu adalah cinta pandangan pertama Dad ketika Mom sedang membaca novel kesukaannya—Anne Of Green Gables—di bawah pohon apel, Dad berkata begitu kepada kami. Sejak itu, Dad selalu berdebar-debar malah takut kalau Mom menolaknya. Namun, semuanya berjalan mulus hingga melahirkan tiga anak yang saat ini sedang dirundung masalah keluarga.

Aku tidak mengharapkan apapun selain mengurung diri di daerah kecil nan sunyi di Colorado. Sesekali merasa cemburu pada Charlie yang selalu tersenyum pada semua orang, seakan dia sama sekali tak dikelilingi masalah. Sudah sering mendengar dari orang sekitar bahwa aku sang koboi penyendiri penuh keputusasaan.

Kubuka pintu karena berisik pukulan pintu. Wayne Woods dengan sepatu gerigi anyar-mengkilap-pamer padaku seraya menggigit batang gandum yang bergoyang-goyang di mulutnya.

"Bukankah kau pernah bilang bakal bertemu di kontes pelelangan."

"Bahkan tak terdengar seperti sebuah pertanyaan," seringainya, menyandarkan siku tangan di dinding di sisi kepalaku. Sejujurnya, aku tidak bisa menahan bau ketiak Woods yang luar biasa seperti burrito campuran lumpur babi.

Jadi, kutahan napas, "Jangan pura-pura pikun, idiot," kataku.

"Aku luar biasa terkejut kau menyebutku 'idiot'," dia melanjutkan. "Cukup menarik."

"Pastinya," kataku percaya diri.

Kurasa aku akan mati mengenaskan di sini sekarang juga.

Aku tahu dia mencari seseorang—mungkin itu aku ... atau Amanda. Itulah yang membuatku khawatir kalau-kalau Woods akan menjadikannya istri keenam atau ketujuh atau bahkan keseratus sepuluh.

Kalaupun dia memang mencariku, si berengsek itu akan segera bicara pada intinya. Ketika Woods bicara dia tampak seperti mencari buah zakarnya yang jatuh di basemen. Aku sendiri kesulitan memikirkan jalan pikiran orang aneh sekaligus tergila di kota ini.

"Di mana wanita seksi itu?"

"Jangan mencari-cari masalah di sini, wajah penis berkutu."

Wayne Woods mulai tertawa. "Itu semacam lelucon hinaan yang kau lontarkan untukku. Tidak masalah."

"Kau yang bermasalah," kataku, mulai geram.

Dilanjut tawanya yang mengerikan, "Aku ke sini bukan untuk mencari masalah, Redford." Menempatkan tangan di bahu kananku, seketika aku menyentak. "Woah, santai, Sobat! Aku sedang mencari Amanda."

Keningku mengerut, "Dari mana kau tahu namanya?"

"Semua orang tahu itu," ejeknya. "Kau terlalu kuper sehingga tidak tahu-menahu hal sepele seperti ini."

"Bukan sepele, bagiku."

"Ya, bagiku."

"Apa lagi yang kau inginkan?" Aku muak berlama-lama dengan manusia berotak anjing laut ini.

Woods mulai menunjukkan senyuman yang paling menggelikan di muka bumi. "Kalau kau kalah dalam kontes ketahanan, aku akan menjadikan Amanda sebagai istriku."

Colorado DesireWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu