Chapter 13

313 55 261
                                    

Griffin

"SUMPAH atas nama Tuhan, aku akan MEMBUNUHMU."

Tidak henti-hentinya Woods membantingku ke dinding. Lalu, kubalas membenturkan keningnya dengan gelas. Aku terbutakan dalam kemarahan yang luar biasa.

Keributan takkan terjadi kalau keparat jelek itu tidak memancingku. Dia telah menghabisi bartender lanjut usia yang malang itu. Susu berceceran di sekitar lantai di meja konter sementara aku mendengar samar jeritan wanita.

Berlari dan mendekat. Menarikku ke sudut tempat membiarkan Woods menyerang semua orang, Amanda tersengal-sengal di depan wajahku. Bencana yang seharusnya tidak boleh menimpa wanita kota itu, dia malah masuk dalam kehidupan kotorku. Aku, sejujurnya, sama sekali tak ingin dia ikut campur meskipun kenyataan bahwa dirinya jatuh bersamaku. Mau tak mau, dia harus bisa menghadapi.

"Maafkan aku soal punggungmu."

Jeritan pistol menyambar seluruh ruangan dengan kegembiraan di balik kumis Woods. Aku merasa sangat berdosa membawa Amanda ke sini. Dia seharusnya bersama Charlie dan Gambino supaya bisa merasakan surgawi festival sore hari.

Suara Amanda menggaung di antara jeritan payah pistol si keparat idiot. "Lupakan tentang punggungku. Kita harus pergi."

"Ya, kau," jeritku. Kami bersipandang, "Pergilah dan jangan beritahu ini pada Charlie apalagi Gambino."

"Kenapa?"

"Kenapa tidak?"

"Aku tidak sedang bermain-main denganmu, Griff."

"Begitu juga aku," aku telah membuatnya diam. "Bergegaslah. Kau bisa membantu Charlie di peternakan jika kau mau."

Kami keluar dari bar kacau setelah Wayne Woods dengan terang-terangan menyebutku pencundang koboi penyendiri yang sangat kesepian. Amanda menahanku agar tak terpancing, akan tetapi aku gampang sekali emosi sehingga dia menggantikan posisi sementara untuk mengatakan, "Cium pantatmu bahkan kau tak punya pantat sama sekali."

Senang rasanya membuat dia memakan kata-kata sendiri. Selain pernah menyebutnya Gadis Asia Tak Punya Bokong—Amanda berkata begitu padaku tadi, kini aku bisa melihat betapa bahagianya cewek di sampingku meskipun tahu secara samar dia terluka secara mental.

Aku sama sekali tersinggung dia menghina—walaupun sedikit, tapi dia sudah sangat kelewatan menghina ras lain. Meski begitu, melihatnya bungkam rasanya entah mengapa puas sekali sampai aku berkata, "Kau luar biasa."

Sudut bibir wanita itu agak mengembang. Mungkin karena penghinaan payah Keparat Woods sehingga aku tidak tega melihatnya menderita. "Aku tahu," katanya, kembali berpusat mengemudi.

Hari-hariku memang hampa. Tanpa wanita. Tanpa anak. Aku sangat mengharapkan bisa memiliki anak dari Anitta. Hanya saja luka batin ini tak mampu sembuh sendirinya. Aku tahu kedengarannya berlebihan. Namun, mencintai seseorang sampai rela melakukan apa saja untuk orang disayangnya dan dengan kejam dia mengkhianati janji pernikahan.

Iya, kami tidak menikah. Tapi, kuanggap bahwa kami resmi menikah secara hukum Amerika.

Meski begitu aku masih bersyukur Charlie bersamaku, dan juga Gambino, sobatku.

***

Sejam lalu, Amanda disibukkan mengerah susu-susu sapi di rumah peternakan seorang diri. Keseriusannya terhadap peternakanku tampak jelas dari matanya; cara dia merawat, memberi makan hewan ternakku sampai memandikan kuda-kuda lalu melatih mereka di kedok persegi, itu cukup membuatku impresif. Jarang sekali wanita seperti dia suka bermain kotor. Pernah sekali mahasiswi dari Clemson dan murid SMA dari Toronto meminta bantuanku untuk berlatih kuda. Namun, mereka amat sangat jijik jika sepatu mahalnya terkena lumpur atau lumpur babi dan berteriak sambil menggeliat. Tidak tahan, kukembalikan uang mereka untuk mencari guru pengganti.

Dia menaruh kardus susu di belakang truk. Melambaikan tangan saat truk meninggalkan halaman peternakan, segera kujatuhkan diri di sofa sebelum Amanda Phoenix masuk kemudian melihatku seperti orang tolol.

Nah, berpikir soal wanita mungkin aku harus mengubah kebiasaan burukku. Rasanya ... sulit sekali.

Bagaimana bisa kembali bergabung bersama wanita kota sementara aku masih trauma membuat hubungan baru dengan wanita kota dan semacamnya.

"Hei," kata Amanda, menjulang di hadapanku, lalu membungkuk—menatapku, "sudah lebih baik?"

Kubersihkan tenggorokan. Sejujurnya, aku tak tahan. "Lumayan."

"Baguslah," katanya. Amanda menunjukkan pai apel padaku, "Charlie meninggalkan ini. Kupikir, kau mau menghabiskannya."

"Kau pasti memasukkan racun serangga di dalamnya."

"Pastinya," dia memutar bola mata kepadaku. "Bakal sangat senang kalau kau menghabiskannya."

"Setelah itu, aku akan mencium pantatmu lalu melemparmu ke bawah dan kuberikan dirimu pada anjing tetangga sebelah."

"Silakan saja kalau berani." Amanda menaruh pai apel di atas meja, lalu pergi.

Aku merasa sangat tolol di sini sebagai seorang pria koboi sejati. Bagaimana tidak jika kau menemukan manusia sinting yang lahir dari rahim ibunya lalu bicara sesuatu dengan bahasa tak dimengerti. Dari caranya berkomat-kamit, dia sedang menggerutu. Biarpun kuabaikan, itu terdengar tidak menyenangkan.

"Aku lebih baik kembali sebagai bocah enam tahun daripada melihatmu menggerutu."

Amanda menaruh tangan di dada, "Oh, ya, kenapa kalau begitu? Aku ingin tahu detailnya."

"Selain hal sialanmu yang sungguh sangat membuatku jadi seperti orang idiot. Aku tak pernah menyangka kau bicara bahasa planet Mars."

"Tidak ada makhluk hidup—atau kehidupan, di sana."

"Ada."

"Siapa?"

"Manusia setengah hidup yang menjulang tinggi di hadapanku." Amanda melotot, jadi aku tertawa. "Terus saja mengejekku," katanya. Lalu, tawaku terhenti, "Itu benar. Kau akan menjadi manusia pertama yang hidup di planet Mars."

Kulihat cewek itu menyeringai. Oke, sedikit merinding. "Sebuah keajaiban menggelikan melihatmu bisa tertawa oleh humor sialanmu." Memakai jaket kulit, Amanda membanting pintu.

Colorado DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang