Chapter 17

208 50 193
                                    

Griffin

ADA ketegangan antara Horsie dan angin malam ketika Horsie melawan udara kencang di perbukitan batu. Lalu, turun ke lereng. Melompati batang pohon di depannya di hutan. Semakin cepat kudaku berlari semakin kencang pula angin di Lakewood. Memang belakangan ini cuaca cukup buruk di Colorado, tapi tidak membuatku takut dan beginilah risiko menjadi penakluk sekaligus penantang alam. Tak peduli seberapa besar rasa sakit. Kalau kuda menentang apa yang dikatakan si pemilik, bisa dipastikan dia akan dengan mudah melukai diri sendiri.

"Jangan berhenti, Horsie."

Kudaku terus berlari sejauh kira-kira 126 kilometer. Sesudah melewati hutan, kini giliran dia harus mampu menaklukkan cuaca. Siaran berita setiap sore mengatakan: masyarakat Lakewood dan sekitarnya berhati-hati dalam beraktivitas dikarenakan badai akan tiba beberapa menit lagi. Dan, di sinilah aku dan Horsie menentang segalanya.

Aku tak peduli alam marah padaku. Yang kupedulikan saat ini hanya menghitung kecepatan rata-rata yang pernah diperoleh Horsie dari hari ke hari. Malam ini dia hampir tidak mendengarku sehingga nyaris tergelincir di sekitar lereng bukit.

Waktu adalah uang. Kontes tunggang ketahanan akan tiba sebentar lagi. Mendecak pelan seraya memukul tali, Horsie menambah kecepatan lebih tinggi mencapai 167 kilometer, yang mana belum cukup bisa mengalahkan mustang Arab Wayne Woods. Aku ingin semuanya berakhir; tak ada lagi bankir terus-menerus berupaya menyita peternakan keluargaku. Setiap penny yang kukumpulkan dari hasil susu dan keju saja belum cukup. Charlie juga membantu. Memenangkan kontes tunggang ketahanan sekaligus kontes pelelangan adalah jalan satu-satunya.

Ingat hari itu di mana Wayne Woods mencoba mengalahkanku di rodeo. Jika aku tak menghentikan usaha liciknya, kakiku takkan bisa bergerak hingga saat ini. Dia juga pernah mencoba menggagalkanku, tetapi Woods mengerang dan terus meletuskan pistolnya. Padahal, dalam peraturan rodeo kontestan dilarang membawa senjata. Hanya saja keparat tengik itu piawai dalam berbicara.

"Terus berlari. Jangan biarkan alam melemahkanmu. Tantang mereka bahwa kau bisa!"

Kabut kian tebal di ujung. Mempercepat lari Horsie, aku mulai memerhatikan sekeliling tidak ada warga yang keluar di malam hari. Mungkin karena cuaca buruk di pengujung musim gugur. Setelah merayakan Hari Ucapan Rasa Syukur, hal paling diingat saat orang-orang sesore datang berkunjung dan menikmati hidangan-saling tukar makanan serta hasil panen. Lalu, berdansa. Lalu, minum koktail dan juga menyantap daging babi yang dipanggang melalui oven, yang mana pula meninggalkan minyak sangat banyak. Daging babi panggang berlemak tinggi buatan Amy Houstern-tetangga paling murah hati, luar biasa enak.

Paman Houstern tak pernah melewatkan obrolannya tentang kesehariannya menikmati hari-hari tua-atau kalau bosan dia selalu mengajak Julie, cucu kesayangannya, jalan-jalan sore hari. Bahkan keduanya berkebun sewaktu-waktu. Charlie mendatangi gadis kecil cantik itu sambil membawa daging ayam krispi olahannya. Julie sangat menyukai makanan itu. Dengan konyol, Charlie akan melamarnya suatu hari.

Suami Amy adalah manajer asuransi kesehatan di kota. Terakhir kali melihatnya ketika dia menghubungiku-menanyakan keluargaku. Oke, Dad pernah melanggar jaminan asuransi kesehatannya. Charles dengan menyesal mengatakan bahwa Dad selalu menunda-nundanya.

Ya. Dad, pria paling keras kepala yang pernah kumiliki. Dia sangat berbeda dengan Mom. Charlie punya gen kepribadian apik dari Mom daripada aku.

Mataku terus memantau. Kabut masih menutupi kawasan Lakewood sunyi. Kami baru saja memasuki kabut sementara Horsie tetap berlari-lari (catat: aku tidak pernah menantang alam semacam ini dan ini kali pertama aku melewatinya) selagi aku menyentakkan tali. Meringkik. Mengendus. Ekor bergerak-gerak keras, tapi agak luwes.

Aku sekonyong-konyong tersentak ke depan, menghantam ujung kepalanya. Dia meringkik keras seraya mengais-ngais di udara. Mendelik begitu menoleh ke arahku. Kemudian berlari lagi sampai beberapa detik berikutnya, dengan kejam dia membantingku ke jalan.

Rasanya seperti seakan berjuang melawan Nazi. Ikut dalam peperangan. Seragam tentara dipenuhi darah akibat serangan bom yang mengakibatkan kehilangan separuh tangan. Suster-suster datang, menggiring mereka untuk mendapat perawatan. Kalut karena menyaksikan penderitaan para pejuang yang terluka bahkan wajahnya benar-benar dipenuhi darah segar dan ada pula sisi kepalanya berlubang sampai kamu bisa melihat otak mereka.

Aku mengumpat kepada Horsie. Kuda sialan, pikirku. Layar ponsel kuno payahku hampir pecah, tetap tak kupedulikan. "Kau bisa datang ke sini sekarang? Aku membutuhkanmu."

Setelah sekitar dua puluh lima menit, Charlie datang dengan truk pikapnya. Aku tidak tahu dia mengajak Amanda, yang mana wanita itu melihatku khawatir. "Aku tidak butuh simpatimu." Charlie melotot. Oke, kurasa malam ini aku pantas mendapat pelototan adikku paling mengerikan.

Alih-alih mengomentari, Amanda Phoenix dan Charlie membantuku duduk di bangku dekat kemudi. Kini, bagian mengemudi adalah wanita dari Timur. Yang membuatku semakin khawatir cuma satu; dia akan membunuhku di dalam truk ini.

Kami semua tersentak ke depan dan ke belakang karena truk baru saja melintasi jalan tanah kasar yang berlubang. "Kau berencana untuk membunuhku. Aku tahu itu."

Melihatku sesaat, "Diam, Koboi Jelek," katanya. Lalu, aku berkata, "Kau baru saja menghinaku." Dan, Amanda Phoenix berkata sekali lagi, "Aku takkan pernah mau membantumu-atau bahkan merawatmu. Sayangnya, aku mendapat suasana hati baik hari ini. Jadi, diam saja."

Di dalam rumah, dua manusia merepotkan itu berdebat di ruang tengah. Keduanya mendebatkan siapa yang akan merawatku. Sapi-sapi di kandang di rumah peternakan saja ikut berisik. "Adakah sukarelawan yang mau membawaku ke kamar?"

Sial, Charlie mengejutkanku. Dia membawaku ke punggungnya selagi Amanda mendahului sambil membawa peralatan obat menuju kamarku di atas. Dia menendang pintu kamarku, dan aku marah. "Sudah kubilang, jangan berisik."

"Aku keberatan kalau kau merusak pintu kamarku," sinisku.

Menggelengkan kepala, Amanda bergerak mengitari ranjang dan duduk menyamping di tepi ranjang. Mengulurkan tangan, dia meraih lengan kiriku pelan kemudian menelisik bagian-bagian tangan seakan wanita itu sedang meneliti-seakan dia paham anatomi manusia. Charlie pergi.

Menekankan kapas basah beralkohol di siku lengan kiriku yang terluka, aku meringis lagi. "Ini tidak sakit. Aku pernah mengikuti pelatihan keperawatan dulu sebelum akhirnya magang di Brooklyn." Amanda tersenyum meyakinkanku sambil meneteskan obat merah di sana. Melilitkan kain perban, "Selesai." Amanda berkata, mengulaskan senyum.

Ada dorongan aneh yang mendadak membuatku tersenyum, "Terima kasih."

Aku berhasil hidup tanpa wanita selama dua tahun atau lebih. Ketika Amanda Phoenix datang ke kota ini aku merasa tubuhku bereaksi padanya. Aku tidak mengerti. Rambutnya bukan lagi cokelat, melainkan hitam dan lurus jatuh sebahu. Tampak seperti kebanyakan wanita Asia lainnya. Dia salah satunya.

Bentuk wajahnya oval, pipi juga agak tembam, Amanda menarik sudut bibirnya selagi berdiri dan masih menatapku. "Sama-sama," katanya. "Untungnya, aku dan Charlie datang tepat waktu meski agak sedikit terlambat. Setidaknya, kami tiba di sana."

"Kapan kau mengubah rambutmu?"

Colorado DesireWhere stories live. Discover now