Chapter 8

434 75 324
                                    

Amanda

AKU membantu Griffin duduk di sofa. Kedua tangannya jatuh ke sisinya dengan lemah. Luka lebam lebar di sisi perut. Aku mati-matian menahan napas menyaksikan kepedihan rumit Redford.

Menggapai wadah obat dari kamar mandi miliknya, cepat aku turun dari tangga. Melempar Converse untuk memudahkanku sampai ke tempat Griffin berada. Dia pasti sedang menungguku. Menantikan obat pereda nyeri untuk dirinya. Aku sungguh sedih dengannya, dan jengkel saat Wayne Woods mengancam tentang peternakan milik Redford.

Di kejauhan kulihat Griffin meringis menyentuh luka di perutnya. Ketika tanganku bergerak menyusuri perut rata oleh otot-ototnya yang kuat dan kencang, aku sedikit gemetar. Kuakui cowokku seksi di kota sekaligus populer di SMA karena dia pemain football. Namun, sejak terjebak di Lakewood, aku tersadar. Bahwa sesungguhnya pria yang benar-benar jantan ada di depan mata. Sadar atau tidak, aku mengagumi otot-ototnya juga dada bidangnya.

Tanpa disuruh, Griffin Redford membuang kemeja flanel ke sofa di seberang. Kutempelkan kain yang telah ditetesi cairan alkohol ke bagian lukanya. Lagi, dan lagi, pria itu meringis seraya menggigit bibir dan terpejam.

"Payah," gumamku. Aku tidak bermaksud mengejeknya, tapi aku tidak suka situasi begini. Aku tahu kedengarannya menjengkelkan. Diam seperti batu rasa-rasanya mengerikan.

Griffin mengabaikan ejekanku. Tetap fokus pada luka-luka di sekujur tubuhnya, aku merasa tugas ini seharusnya dilakukan istri atau keluarga, setidaknya. Ingat Charlie bercerita padaku peristiwa menyakitkan pada diri Griffin, pertanyaan itu kusimpan, lebih baik.

Selesai mengobati, kubawa wadah obat itu kembali ke tempat semula. Aku berjalan menuju dapur untuk membuat kopi. Sialnya, mesin penghancur kopi tidak berfungsi. Jadi, aku menghubungi Wendy's dan memesan tiga kopi masing-masing berbeda jenis: kapucino, latte, dan mocha. Pun, tak tahu apa kesukaan kopi mereka.

Kupandangi pria terduduk lemah di sofa, tahu bahwa dia sedang memerhatikanku melalui sudut matanya. Aku menunduk meraih Converse dan disimpan di rak sepatu dekat pintu utama. Charlie datang. Membawa kabar gembira akan ada kontes peselancar dua hari lagi. Aku menanggapi hal itu dengan senyum senang, sementara Griffin tampak kesal gara-gara tindakan Wayne beberapa jam lalu.

"Siapa saja yang ikut terlibat kontes itu?" tanyaku kepada Charlie.

Charlie menempatkan diri di sofa. Kemudian bangkit melihat kemeja Griffin masih di sana. Pria malang itu tertidur lima menit yang lalu. "Aku akan membawanya ke kamar dulu."

"Jangan," kataku. "Bagaimana kalau dia terbangun?"

"Tidak. Tidak mungkin."

"Dia satu banding satu dengan banteng kalian."

Matanya agak melebar. "Itu bantengnya. Griff menemukannya di padang rumput setahun lalu di mana dia sedang berlatih ketangkasan."

"Aku tidak tahu tentang itu," kataku. Membayangkan Griffin menangani banteng, membuatku merinding. Aku penasaran cara menjinakkan banteng liar. Sekali lagi. Dia koboi.

Membaringkan Griffin dengan tenang di atas bantal yang Charlie siapkan dan tugasnya adalah mencopot sepatu botnya yang sudah rusak. Charlie mengangkat sepatu itu seakan memamerkanku betapa fantastisnya benda itu. "Aku harus memperbaiki sepatu ini. Karena, ini keberuntungannya."

Mencemooh, melipat tangan di dada, "Kau percaya omong kosong itu? Aneh."

"Kami dilahirkan percaya leluhur kami," jawab Charlie Redford, membela diri. Seakan dia benar. "Sebagai koboi, atau setidaknya bagian dari keluarga koboi, tidak akan pernah mengkhianati atau menentang nenek moyang walaupun aku bukan seperti Griff, tapi aku menghormatinya, paling tidak."

"Aku paham," kataku. Sejenak melirik betapa damainya Griffin saat terlelap. "Hari-harinya keras sekali," liriku.

"Benar. Griff memang pria tangguh dan bertanggungjawab. Sayang sekali, wanita yang pernah tinggal bersamanya telah melukai kakakku."

"Percaya atau tidak, perutku ingin memuntahkan seluruh isi dalam pencernaan kemudian menyemburkannya ke wajah wanita tolol itu—menjijikkan lagi jika isi perutku masuk ke gaun berkilau-kilaunya."

Anak laki-laki itu tertawa keras. "Kedengarannya mengerikan, tapi Mandy, idemu keren dan sedikit konyol."

Selagi Charlie berbicara padaku, pikiranku kembali mundur akan sekitar dua jam lalu. Menyaksikan di kejauhan yang mana Griffin dan Wayne berkelahi hebat di bawah sorot matahari kelewat tajam. Kulit mereka terbakar. Ketika akan mendekat, Charlie menahanku dan berkata, "Jangan. Jangan lakukan lagi. Mereka sedang serius dan aku tidak ingin kau terluka." Namun, bukan berarti aku harus berdiri memerhatikan mereka dengan tenang sambil menggigit kuku jari hingga habis? Tidak bisa. Bagaimanapun, Griffin sudah menolongku bahkan menganggapku tamu saja lebih dari cukup. Berbicara dengan manusia rumit membuatku bergairah. Berbeda ketika masih tinggal di New York; bersenang-senang dengan gadis-gadis di bar yang berakhir berdansa bersama pria. Atau melewati kasus perundungan kerap terjadi di SMA-ku, terutama cewek berisi—selalu menyombongkan diri sehingga setiap gadis pantat tak berisi melintas, dia dan gengnya merundung. Kasus menjijikkan itu selalu dijadikan enteng.

Aku mendengar Griffin mengerang. Kami bersipandang sesaat sebelum akhirnya Charlie membantunya duduk. Mata cokelatnya pucat, aku tidak bisa menanganinya. Sementara aku berangsur-angsur ke dapur untuk membuat secangkir teh hijau, segera kuserahkan kepadanya. Charlie keluar menemui pesananku.

"Untuk apa kau membeli semua ini?" Charlie meletakkan dua kantung plastik di atas meja menghadap Griffin. Kukatakan padanya bahwa tidak ada bahan kebutuhan apapun di dapur. Maka, aku menghubungi Wendy's lagi untuk memesan makanan. Griffin membuka mulut, bungkam akibat nyeri menjalari tubuhnya.

Mengabaikan pertanyaannya. "Bantu kakakmu makan ini." Kuserahkan salad sehat kepada Charlie. "Salad ini satu-satunya bisa membuatnya lebih baik. Setidaknya begitu."

"Apakah ada mayonais di dalamnya?" tanya Griffin. Aku berpaling kepadanya, tertawa. Dia mengernyit, mendongak ke Charlie di sampingnya. "Ada apa dengan wanita ini? Ada apa dengan pertanyaanku?"

"Kau sakit, tetap bodoh," gumam Charlie. "Punya tangan, kan? Kau bisa makan sendiri."

Mata Griffin menggelap dan tajam. Aku tidak ingin dua saudara lelaki Redford bertengkar di depan wanita tersesat. Begitu aku berdiri, mendorong mereka berdua menjauh saat keduanya saling menatap sengit. Aku mendorong bahu Griffin untuk duduk bersamaku. Aku agak menyesal menyebutnya Si Pria Aneh. Perbedaan prinsip membuat dua pria di sekitarku jadi sedikit tegang. Bukan karena apa. Kemampuan Charlie di pantai lebih fantastis ketimbang Griffin yang sudah terbiasa melawan alam sehingga hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka perjuangan.

Tahu respons Griffin berikutnya, aku menyanggah, "Tidak lagi. Aku tidak ingin menyaksikan pertengkaran lagi di rumah ini." Sorot matanya semakin tajam. Aku menelan ludah. "Baik. Pertama-tama, aku menyesal telah mengejekmu. Tapi, tindakanmu saat itu sungguh menyebalkan, Kawan. Yang membuatmu benci terhadap wanita kota sedikit tak masuk akal. Kau tidak menjelaskan alasanmu membencinya." Sebenarnya, aku sudah tahu penyebab Griffin Redford benci wanita kota. Aku cuma ingin mendengar langsung dari mulutnya. Bukan orang lain.

Pria itu tak menjawab.

Maka, kulanjutkan, "Membenci wanita kota karena perkara sepele, itu tidak lucu, kau tahu. Tidak semuanya mereka menjengkelkan. Kau boleh tidak menyukaiku, tapi membandingkanku dengan wanita lamamu, aku tersinggung."

Griffin mendongak, memandang mataku, seketika berkata, "Aku memang tidak menyukaimu awal kali pertama bertemu."

"Nah, karena kau belum mengenalku." Lalu, beralih ke Charlie yang memberengut. "Cowok gila ini saja sudah mengenalku. Kau kurang pergaulan, Griff."

"Aku tidak suka bergabung dengan orang-orang kalau bukan urusan bisnis."

Aku menghela napas, setengah mendesah, masih memandang mata cokelat gelap tajamnya, "Itulah sebabnya wanita ini selalu menjulukimu Pria Tak Berakal Sehat."

Griffin mengangkat sebelah alis. "Aku tidak mengerti."

"Itulah kau," kataku. "Charlie, aku penasaran; apakah ibumu pernah melahirkan anak yang hidup?"

Tawa Charlie meledak. "Dasar, wanita gila."

Colorado DesireWhere stories live. Discover now