Chapter 16

360 49 144
                                    

Amanda

“AKU tidak percaya Frances bisa sedikit bicara bahasaku.” Aku mengerang saat truk pikap ini hampir menabrak sapi-sapi dan peternaknya yang sedang menyeberang. Pria lanjut usia itu, rambutnya beruban, tetapi masih kuat mengurus hewan-hewan ternaknya bahkan aku bisa melihat jiwa tangguh dalam dirinya, menyentak pantat sapi dengan benda yang terlihat seperti kemoceng, kemudian berpaling ke kami melalui kaca depan, "Trims, Bung."

Kepala Charlie keluar melewati jendela—kaca itu sengaja tidak dinaikkan, “Hei, Pria Tua! Sama-sama!”

Charlie membawaku berkeliling. Telah melewati padang bunga yang super menakjubkan di ujung kota. Tempat ini mengingatkanku kembali ke Montana bahkan aku juga pernah bermalam di sana di dekat ladang bunga, yang mana terdapat kunang-kunang di sana. Aku suka kunang-kunang. Mereka sangat sangat sangat indah. Alexis yang ngeri padanya, langsung berhambur masuk ke truk berjalan sambil berteriak. Lalu, Mom membuat api unggun dan membakar marshmallow bersama-sama tanpa dia.

Charlie menaikkan sedikit kecepatan. “Siapa Frances?” katanya melihatku sesaat sebelum beralih fokus ke depan.

“Gadis yang kutemui di bar bersama Griff, kau tak ingat?”

Alisnya turun sebelah, “Aku tidak mengerti.”

"Baik, tidak masalah," desahku.

Frances membawaku ke salon dan menawarkan potongan rambut. Selain sebagai pelayan bar, dia juga penata rambut bahkan Frances telah mengubah warna rambutku jadi hitam.

Sambil mengerem, Charlie menggumam, lalu berkata, “Aku ingat sore itu keluarga besar kami merayakan pesta panen di rumah. Semuanya menikmati jamuan itu kemudian gadis kecilku mengajakku berdansa bersama, sementara Griff tidak terlihat begitu bahagia.”

Kutengokkan kepala menghadapnya, “Aku turut sedih,” kataku.

Truk berhenti. Charlie masih berdiam selagi aku membanting pintu. Hereford keluar dari kerangkeng menuju ke padang rumput hijau subur di luar rumah peternakan. Di seberang sapi-sapi sedang makan rumput sementara sebagian sapi lainnya bersuara yang mana aku sendiri tak mengerti maksudnya. Padang bunga yang luas di depan sana diterpa angin sore Lakewood. Semuanya, bagiku, seperti surga.

Griffin kembali. Stetson hitamnya dibiarkan berdebu. Cara pandang Griff padaku tak bersahabat. Dia kembali seperti kali pertama kami bertemu dan berjabat tangan—tangannya besar, kuat, dan tegas. Dia tegas melalui cara itu.

Alih-alih tersenyum untuk bertukar kabar, dia justru melewati bahuku tanpa mendesis atau gerutu khas pria itu. Yakin betul aku dibuat bingung setengah mati. Karenanya, dia benar-benar sukses membuatku ingin tahu hal lain tentangnya. Tapi. Bukan soal asmara lama atau kejaran utang-piutang dengan bank atau masalah keluarga.

Aku ingin tahu segalanya tentang diri pria itu.

Charlie dan Griff terlibat percakapan serius di beranda, jadi kualihkan untuk bergerak menghampiri sapi-sapi yang masih makan di padang rumput subur di depan.

Truk pengangkut ayam ternak memasuki pekarangan peternakan Redford. Dari situ aku bisa menyimpulkan mereka terlibat bisnis peternakan ayam merah dan gemuk.

Sore masih berlanjut. Aku memanjat memetik apel selagi menjaga sapi-sapi. Lalu, turun dengan damai hingga sedetik kemudian berangsur-angsur duduk bersandar di bawah pohon apel cukup rindang. Melihat hewan ternak Redford tidak begitu membuatku stres—terutama Mustang Merahku belum selesai diperbaiki.

Bicara soal mobil, aku pernah bekerja di bengkel selama sisa hidupku di Alabama. Aku terjebak sesaat sebelum akhirnya memutuskan menetap di motel. Kemudian mampir ke toko Mr. Brown, dia sangat supel dan keren. Mr. Brown hampir tidak pernah lupa memberiku bubur jagung tiap pagi. Itu cukup keren.

Kulihat Charlie berlari-lari kecil menyeberang di jalan sepi, berlutut di hadapanku, “Ayo, pulang. Aku akan menggiring sapi-sapi itu kembali ke kandang.”

Dua saudara laki-laki Redford bercakap-cakap selagi aku menaruh piring-mangkuk di meja makan. Mereka berdiskusi tentang pelelangan dalam beberapa hari ke depan. Charlie bersikeras meminta kakaknya agar mencari asisten untuknya, tapi Griff menolak. “Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Kau salah, Griff,” katanya. “Kau sangat kelelahan sepanjang hari dan berani bertaruh setelah ini kau akan menguji kecepatan kudamu, bukan?”

“Itu kewajiban,” gumam Griff. Nadanya terdengar sangat tidak menyenangkan. Apakah dia selalu seperti ini pada orang-orang?

Menempatkan diri menghadap mereka, kumasukkan beberapa sendok bubur jagung ke dalam mulut. Meninggalkan kehangatan itu di tenggorokan, aku sama sekali tak ingin mengganggu pembicaraan penting mereka.

Pukul delapan, yang artinya Griff sedang di luar sendirian. Udara malam di Lakewood cukup dingin baru-baru ini. Charlie dan aku membereskan rumah, sedangkan aku mengerjakannya di kamar, tempat di mana aku beristirahat.

Berkali-kali mencoba menghubungi Alexis, tak sekalipun mendapat sinyal apik. Menjengkelkan, pikirku. Kucoba sekali lagi, tetap tidak bisa. Sekali lagi. Tidak bisa.

Aku mengerang di ranjang. Membuka pintu saat Charlie memanggilku, “Ada apa, Char?”

Ada kepanikan di wajahnya. Urat-urat di kepala dan tangannya menegang. Mendelik ketakutan. Meraih tanganku kuat-kuat, dan berkata, “Griff mengalami cedera. Bisakah kau membantu?”

Colorado DesireWhere stories live. Discover now