Chapter 2

992 148 726
                                    

Amanda

MOM memberitahu dia dan Alexis di Santa Clara. Aku baru saja keluar dari motel klasik di Alabama. Dua pria koboi duduk bersantai sambil menggigit sebatang gandum di sudut bibirnya, menatapku saat membuka pintu Mustang Merah. Mendorong tubuh menunduk masuk lalu meletakkan kedua tanganku di kemudi. Selama lima belas tahun berkelana akibat perceraian Mom dan Dad, Alexis kecewa. Mereka bodoh, katanya. Alexis tak tahu mengapa mereka terburu-buru membuat keputusan tolol itu sementara aku sendiri tidak bisa membantu apapun.

Sebulan tinggal di Alabama, aku mendapati bahwa sebagian besar kota itu tidaklah buruk. Di samping motel ada toko kelontong Mr. Brown. Dia pria berkulit hitam dari Mississippi dan selalu memberiku bubur jagung tiap pagi sekali. Sedikit aneh rasanya pada makanan itu, karena sebagian besar penduduk kota, terutama hidup di kota tak pernah tidur; New York, jarang atau belum pernah memakan makanan itu. Kami dibesarkan di New York sebelum orangtua kami bercerai. Sampai sekarang aku masih belum tahu penyebabnya, tetapi Alexis menolak memberitahu dan malah berteriak. Itulah alasan mengapa aku benci punya saudara.

Kami berpindah-pindah tempat. Selalu. Dengan truk seperti truk makanan cepat saji, Mom membiarkan Alexis mengemudi dalam perjalanan ke New Orleans. Meskipun dia secara resmi belum diizinkan memiliki lisensi setidaknya cara dia berkendara tidak membuat kami semua serangan jantung.

Terakhir kali kami tinggal di kota kecil Minnesota. Di sana aku bertemu Adam dan Charlie yang merupakan pemain hoki es. Mereka keren. Seragam The Ducks tampak kebesaran di tubuhnya.

Adam memiliki mata hijau, sementara Charlie pemilik warna cokelat. Punya Charlie jadi terang apabila dekat dengannya. Ketika itu dia mengundangku menonton pertandingan The Ducks melawan Warriors. Sebagian besar pemain Warriors bertubuh besar dan kekar. Pemilik aksen selatan. Terdengar lucu ketika kapten tim itu melihatku bertanya-tanya. Alisnya mendekat, lalu menabrak dinding dan menghantam helmnya di sana. Penonton di sekitarku tertawa bahkan berteriak menyebut 'tolol'. Cowok itu memandang semua orang sebelum jatuh kepadaku. Dia melihatku sangat intens seakan 'kau akan mendapatkan akibatnya'.

Sebutannya 'Bull'. Terpikir olehku dia satu banding satu dengan banteng. Cowok itu menjulang tinggi di sampingku, sebab dia mendapat hukuman atas pelanggaran hina terhadap Lenny-bocah lelaki keturunan Italia. Dia penjaga gawang. Telapak tangannya memar akibat pukulan kasar sekaligus kejam oleh Bull, hingga pada akhirnya dia pantas mendapatkannya.

Bull menatapku garang, lalu memberontak petugas membawanya ke tempat lebih baik untuknya. Dia mengancamku. Menurutnya, tak seharusnya cewek kota sepertiku menonton pertandingan hoki es yang diadakan setiap musim panas. Hoki es sama kerennya bisbol. Aku selalu menyaksikan Yankees sebelum musim panas berakhir. Dan, selalu mengenakan kaus Yankees kebesaran sehingga hanya perlu memakai celana jins pendek hampir mencapai selangkangan.

Di tikungan aku menyetel radio di dasbor tengah. Membiarkan siaran berita menjerit-jerit dalam ruangan. Ketika mencapai keluar dari kota Alabama, ini saatnya aku akan bertemu Mom dan Alexis di pinggiran kota California, Santa Clara. Selain kota itu terlihat mengerikan, paling tidak wahana di sana sungguh sangat menakjubkan. Kali terakhir kami di sana saat usiaku dua belas.

Mengambil gelas susu kocok di atas dasbor, aku mulai memasuki kota Colorado. Tak tahu Colorado bagian mana, tak memedulikan di mana posisi sekarang ini. Yang ada dalam pikiranku cuma Mom dan Alexis. Dua orang tersayang meskipun menjengkelkan, terutama si melodrama, Alexis Phoenix.

Kuhubungi Alexis. "Yo, cewek California. Kau baik?"

Alexis terkikik di ponsel, "Kau terdengar sangat sok."

"Ya," kataku. "Itulah aku. Diriku. Seperti G-Eazy 'Me, Myself, and I'."

"Tutup mulutmu, sialan," kata Alexis. "Sial, aku melewatkan Top Chef tiga menit lalu. Kau bertanggungjawab."

Colorado DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang