Chapter 12

335 63 285
                                    

Amanda

PERTAMA kalinya merasakan nikmatnya permen kapas kawasan Selatan. Makanan manis ini benar-benar enak bahkan mengingatkan kota lamaku di Laurens. Kami pernah tinggal di sana setahun sebelum melakukan perjalanan, lagi dan lagi. Aku sebetulnya rindu country itu terlebih hutan pinus serta air danau jernih yang indah.

Kenyataannya, Mom dari Laurens. Namun, terasa asing saat dia mengunjungi country itu. Dan, aku sedikit sedih mengetahui bahwa aku anak hasil selingkuh dari sisi Dad yang belum pernah kutemui dan tak pernah berharap melihat wajahnya sekalipun—sebelum Mom dan Dad menikah secara hukum.

Lewat dua puluh lima menit selesai berkeliling, kulihat Griffin keluar dari tenda kontes pai dengan senyum menggelikan. "Kita harus pergi," katanya mendekati.

"Bagaimana dengan Gambino?"

"Lupakan dia," kata Griffin, melewati bahuku.

Aku tidak percaya dia melakukan ini begitu menceritakan betapa ngerinya keributan dalam kontes pai. Itu adalah kontes yang selalu diadakan setahun sekali dan seorang wanita mengacaukan segalanya. Bahkan saat masih di Greenville yang mana di sana diselenggarakan Festival Seni Greenville, tidak pernah ada yang membuat kekacauan seperti itu.

Aku cukup bahagia tinggal di kota tersebut meskipun sementara.

Urat di tangan Griff menegang dengan fokus menatap ke depan, sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa selain menatap wajah kerasnya penuh keringat di sekitar dahi, tertutupi oleh Stetson hitam.

Melewati kecepatan delapan puluh mil, dan berhenti di sebuah bar country di mana aku bisa melihat gadis-gadis yang mirip seperti gadis pinggiran kota Jackson. Kami turun.

Berjalan tergesa-gesa. Satu tangan tenggelam di dalam kantung celana Levis panjangnya sementara tangan lainnya menggenggam sebatang gandum yang kemudian dimasukkan ke mulut—Griff menggigitnya. Dengan jantan dia masuk, mengejutkan semua orang di dalam sana sampai akhirnya aku menjadi pusat perhatian.

"Di mana Woods?" teriak Griffin Redford, berkeliling.

Bartender tua berambut putih itu telah menyiapkan senjata seakan bersiap untuk menembak Griff. Matanya sayu nan tajam selagi memfokuskan ke Griffin yang terus menyerukan Wayne Woods.

Lalu, ke bar, berkata, "Katakan, di mana bajingan itu."

"Dia tidak di sini."

"Pembohong tua."

"Kukatakan tidak, maka, tidak," kata pria itu bersikeras.

"Dibayar berapa untuk berbohong padaku?"

Senjata itu siap membidik. Aku mulai khawatir.

Griff kembali membalikkan badan, membanting meja hingga minuman mereka tumpah di lantai. Orang-orang sekonyong-konyong mundur—ada yang menarik pasangannya untuk menghindari kegarangan Griffin Redford. Bartender lanjut usia tetap membidikkan senjata mengarah ke jantung Griff, dengan segera aku menarik jaket jins-nya dan aku membanting punggungku sendiri ke meja yang terbalik.

Alih-alih membantu, letusan pistol menggema dalam ruangan. Otomatis musik country dihentikan sementara sampai detik berikutnya beberapa dari mereka menoleh ke pintu utama, yang mana Wayne berdiri dengan seringai lebar di wajah jeleknya.

"Oh, tidak," gumamku. Gadis pelayan usianya sekitar tujuh belas membantuku berdiri, membawaku ke ruang atas meninggalkan Griff di antara kumpulan orang dipenuhi penasaran tinggi.

Gadis itu Frances, katanya padaku. "Aku belum pernah melihatmu sebelumnya dan omong-omong, kau punya senyum yang sangat menawan."

"Trims," kataku. "Kau bekerja paruh waktu di sini?"

Frances mengangguk, seraya memeras kain basah yang kemudian ditempelkan ke punggungku. Ketika kain menempel di punggung, rasa nyeri membuyar begitu merasakan dinginnya kain. "Ya. Daripada aku melamun, jadi aku memilih bekerja di sini sampai selesai kuliah."

"Cukup impresif," aku tersenyum padanya. "Semua orang bilang begitu, omong-omong."

"Ya," lanjutnya, "kau tahu, Orang Asia merupakan empat persen dari Amerika Serikat."

"Aku tahu."

"Dan, kau juga punya warna kulit yang indah. Eksotis."

Aku tersenyum.

Frances menempatkan diri di tepi ranjang di sampingku. "Itu benar," katanya. "Kami sangat mendambakan warna kulit sepertimu dan kau sangat beruntung karena tidak perlu repot berjemur atau mengoleskan krim untuk menggelapkan kulit."

Aku menjawab, "Yah, Dad adalah Orang Asia dan dia dari Indonesia. Aku satu-satunya anak perempuan yang fasih berbahasa Indonesia di antara keluargaku."

Matanya membelalak, "Sungguh? Itu sangat sangat luar biasa!" Aku terkekeh pelan. "Aku ingin mendengar dan melihatmu bicara bahasa Indonesia, bisa?"

Aku menghela napas. Aku bisa sedikit mendengar kekacauan di bawah dari sini. "Kau mau aku bilang apa?"

"Apapun."

"Oke, dengarkan baik-baik," jedaku. "Kamu tau, aku bener-bener kejebak di kandang Griff mana dia bikin kepalaku cekot-cekot lagi. Udah gitu, orangnya hmm ... suwer, deh, ampun! Kamu bakal semaput kalo tinggal bareng dia."

Ucapanku membuat Frances tidak dapat berkata apa-apa selain, "Itu benar-benar luar biasa! Kau mau mengajariku, kan?" Dia mendekat. "Kumohon?"

Lagi, dan lagi, aku mengulaskan senyum, "Kita bisa belajar bersama kapan-kapan."

Colorado DesireDonde viven las historias. Descúbrelo ahora