TAK SANGGUP

35.8K 2.2K 50
                                    

Suara decitan pintu yang terbuka membuat Sofie yang sedang melamun menatap langit abu-abu diluar sana menoleh ke sumber suara. Ia melihat seorang pria dengan setelan kantornya yang sudah berantakan memasuki ruang perawatan itu dengan raut wajah sedih.

"Alvin? Darimana aja kamu?"

"Aku... aku..."

"Sudah, sudah. Aku tau pasti kamu capek, kan?"

Sofie menggeser tubuhnya, mencoba membagi dua ranjang rumah sakit yang ukurannya cukup besar itu. Ia menepuk bagian kasur yang kosong untuk memberi isyarat bahwa masih ada tempat untuk suaminya beristirahat.

Alvin naik ke atas kasur tersebut, memeluk tubuh Sofie yang begitu hangat dengan bekas air mata yang masih tercetak jelas di pipinya. Ia menempelkan keningnya dengan kening milik Sofie, merasakan kehangatan disana. Rasanya jauh berbeda ketika ia melakukan hal yang sama dengan Nadja. Bukan. Bukan rasa hangat di kening atau bekas air mata itu, melainkan rasa yang belum bisa digambarkan oleh Alvin. Alvin teringat ketika ia menempelkan keningnya di kening Nadja lalu bertanya kenapa wanita itu begitu hangat, ia hanya menjawab bahwa mungkin Alvin yang kedinginan, lalu satu kecupan ia daratkan di kening itu. Tapi sekarang, ia tidak ingin melakukan itu pada Sofie. Ia hanya ingin bertanya lalu memeluk wanitanya sepanjang hari.

"Why you so warm?"

"Maybe my tears that made it so." Sofie mengalihkan pandangannya ke kedua mata Alvin, "I'm tired. I've been waiting for you, but you're not on my side when I need you."

"Pardonnez-moi."

Alvin mengucapkan kata maaf itu lewat bahasa Perancis yang disukai oleh Sofie. Ia memeluk wanitanya seakan enggan kehilangan. Selanjutnya sang wanita kembali menempatkan pandangannya ke kedua mata sang suami, "Kamu sudah bertemu dengan dokter?"

Alvin diam untuk sementara waktu karena ia belum tahu harus memulainya darimana.

"Vin?"

Alvin mengangguk.

"Lalu apa kata dokter? Aku baik-baik aja, kan?"

Alvin kembali terdiam.

Jujur ia juga terluka dengan semua ini, tapi ia yakin bahwa Sofie jauh lebih terluka jika mendengar kabar buruk ini. Namun akhirnya ia kembali mengangguk.

"Oh, thank God. Lalu bagaimana kabar bayi kita?"

Lagi-lagi Alvin terdiam karena ini adalah pertanyaan yang paling ia takuti sedari tadi.

"Destavin Sharga Alvori, tolong jawab pertanyaanku. Bayi kita baik-baik aja, kan?"

Alvin meneteskan air matanya dan memeluk Sofie. Tidak ada jawaban untuk pertanyaan yang satu ini dari Alvin, namun air mata kesedihannya sudah memberikan jawaban bahwa mereka harus rela kehilangan bayi itu.

Sofie menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Alvin. Ia menyalahi dirinya sendiri yang lalai karena tidak melihat lantai yang licin itu.

"AKU MENYESAL! AKU MENYESAL!!"

Masih dalam pelukan Alvin, Sofie berteriak sebagai pelampiasan penyesalannya.

"Sofie cukup! Jangan menyalahi diri kamu sendiri. Kita semua salah."

"NGGAK! Aku dan kamu nggak salah! Nadja yang salah. Karena dia, kita harus kehilangan bayi kita, Vin!"

Alvin mengencangkan pelukannya dengan Sofie. Ia tahu wanitanya ini pasti akan terus menyalahi Nadja, padahal belum tentu juga Nadja yang salah.

"Vin, kamu harus bertindak tegas, Vin. Nadja sudah membunuh anak kita dan dia harus menerima balasannya."

"Tidak perlu seperti itu, sayang. Tidak. Belum tentu dia salah."

"JELAS-JELAS DIA SALAH!"

"Ssttt... sudah cukup, ya. Jangan buat dirimu lelah."

"CERAIKAN DIA, VIN! DIA SUDAH MEMBUNUH BAYI KITA! DIA PEMBUNUH!! AKU MAU KAMU CERAIKAN DIA!!!"

Sofie kembali berteriak histeris. Keluarga yang mendengar teriakan itu hanya bisa menangis di ruang tunggu. Apalagi orang tua Sofie yang baru saja tiba dari Bandung beberapa waktu lalu. Sedangkan Nadja yang mendengar Sofie meminta Alvin untuk menceraikannya pun cukup terpukul. Pasalnya permintaan itu di iyakan oleh Alvin dan lelaki itu berjanji akan segera mengurus perceraiannya dengan istri keduanya itu.

Nadja yang tak kuasa menahan tangis pun pergi dari sana, berlari keluar rumah sakit dan ia ingin menyendiri.

***

Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi? Bagaimana kalau Alvin benar-benar melakukannya untuk Sofie? Lalu bagaimana dengan nasib kedua anakku? Mereka belum lahir sudah harus kehilangan Ayahnya. Ya Tuhan, aku mohon agar Alvin tidak mengurus perceraian kami dalam waktu dekat ini. Kasihan kedua anak yang belum lahir ini. Mereka tidak bersalah, tolong jangan pisahkan dulu aku dengan Alvin.

Disini. Di sebuah tempat yang tenang. Nadja terus berharap agar Alvin tidak segera menceraikannya. Ia hanya ingin anak-anaknya merasa memiliki Ayah selama mereka dalam kandungan, untuk setelahnya Nadja sudah menetapkan hatinya, jika Alvin ingin berpisah darinya.

Nadja melihat hamparan langit biru yang menawan agar ia tidak bersedih lagi. Ini hanya serangkaian masalah kecil yang tak diperlukan. Maka dari itu harus di lewati dengan lapang dada.

Sesaat kemudain Nadja merasa ada yang datang lalu duduk di sampingnya. Ia menoleh dan mendapati Yasmine yang sedang ikut dengannya memandangi langit yang cerah itu.

"Kenapa kamu bisa tahu aku ada disini, Yas?"

"Tadi aku lagi beli makan di salah satu kedai, terus aku lihat kamu jalan sendirian. Ya, aku ikutin kamu aja. Nggak tahunya kamu kesini."

Nadja tersenyum kecil.

"Yas, aku mau nanya sama kamu."

"Apa?"

"Kalau Alvin menceraikan aku bagaimana?"

Yasmine tertawa kecil seraya menganggap bahwa itu terlihat tidak mungkin. Mengingat, kedua orang tua Alvin sangat menginginkan Nadja menjadi menantu mereka dan ia yakin bahwa Papa mertuanya Nadja akan selalu membela menantunya yang satu ini.

Nadja menarik napas panjang,  "Alvin mau menceraikan aku, Yas."

Yasmine langsung mengehentikan tawanya dan beralih menatap Nadja yang sudah kembali menangis.

"Sudah aku bilang, itu nggak mungkin, Nad. Alvin nggak mungkin melakukan..."

"Tapi aku sudah membunuh bayinya."

Yasmine terkejut tak percaya. Mana mungkin sahabatnya ini tega melakukan itu. Mustahil!

"Nad, jelaskan sama aku apa yang sedang terjadi?"

"It's a long story."

"Ceritakan. Aku akan menjadi pendengar setiamu."

Lalu Nadja menceritakan apa yang telah terjadi di iringi dengan arir mata yang terus turun membasahi pipinya. Yasmine yang berjanji akan mendengarkan cerita sahabatnya itu pun ikut menangis juga. Ia tahu ini terlalu menyiksa untuk sahabatnya yang satu ini, tapi di satu sisi lain Sofie juga berubah. Ia memaklumi perubahan Sofie karena sebenarnya tidak ada wanita yang ingin di madu. Kalaupun ada, contohnya seperti Sofie. Diam-diam menghanyutkan dan akhirnya tidak tahan dengan pernikahan yang terbagi.

Yasmine memeluk Nadja dengan erat disana, dengan suara tangisan mereka masing-masing yang menjadi irama, sebagai tanda siapa yang sedang terpukul.

***

Author sedang tidak ingin cuap-cuap, cukup meminta vote dari kalian :)

Regards,

MEI

2 Hati 1 Cinta - Ketika Aku Mencintaimu Setengah Mati (OPEN PO)Where stories live. Discover now