AKU MENJAGAMU

34.7K 2.1K 55
                                    


Nadja mengerjapkan matanya setelah beberapa saat kehilangan kesadaran. Ia melihat keselilingnya, hanya sebuah ruangan yang di dominasi berwarna putih. Ia hanya seorang diri di ruangan tersebut, lalu ia baru mengingat sesuatu. Nadja mengingat kejadian sebelum ia berada di rumah sakit. Dengan gerakan refleks, wanita itu memegang perutnya dan ia sadar bahwa akan ada masalah baru (lagi) yang menimpa dirinya. Ia sudah mengira, jika ada seorang dokter yang memasuki ruangan itu, maka ada dua kemungkinan yang akan disampaikan sang dokter kepadanya, yaitu kabar buruk dan kabar baik.

Air mata mulai membasahi pipi wanita itu. Emosinya mulai memuncak. Ia melepas jarum infus yang terpasang di tangan kirinya, ia berteriak untuk melepaskan kekesalannya. Beberapa barang-barang disana seperti vas, gelas, dan beberapa toples kecil berisi obat di lemparkannya ke lantai, dan sebagian lagi di lempar ke dinding. Nadja melampiaskan kekesalan disana.

Maafkan Ibu yang membuat kalian menderita.

***

Alvin POV

Aku berjalan mengikuti langkah seorang dokter perempuan yang biasa menangani Nadja. Aku benar-benar merasa dibawa mundur ke waktu beberapa bulan yang lalu, saat aku harus bertemu dengan seorang dokter yang menangani Sofie dan mendengar sebuah kabar buruk, jika aku harus kehilangan calon bayiku. Aku tidak mau ini juga terjadi pada Nadja. Sudah cukup ia menderita selama ini karena diriku, dan tidak mungkin ia kehilangan bayinya, karena itu akan menambah masalah dan penderitaan baru baginya.

"Sebelumnya, saya ingin bertanya kepada Anda selaku suami dari Ibu Nadja. Apa yang dilakukan Ibu Nadja beberapa waktu belakangan ini? Mungkin dua puluh empat jam sebelum kejadian ini?"

Aku terdiam dan mengingat apa saja yang di lakukan Nadja sebelum kejadian pendarahan ini.

"Dia sempat merawat saya yang sedang demam, lalu dia pergi ke kantor, dan pulang sekitar pukul enam sore."

"Lalu?"

"Kita sempat mengobrol dan akhirnya pendarahan itu terjadi."

"Oke. Dari hasil pemeriksaan yang saya lakukan, Ibu Nadja mengalami pendarahan karena terlalu stres dan kelelahan. Begini, usia kandungan Ibu Nadja masih sangat rentan. Jadi, sebenarnya tidak boleh terlalu capek atau kebanyakan pikiran."

"Astaga. Jadi pendarahan itu..."

"Iya, Pak. Tapi untung saja sang jabang bayi kuat dan bisa di selamatkan."

Aku mengucap syukur, karena Nadja tidak akan mendapatkan mimpi buruk yang berarti. Aku mengembangkan senyumku, lalu berpamitan kepada sang dokter untuk menemui Nadja di ruang rawatnya.

Saat aku hampir sampai ruang rawat itu, samar-samar aku mendengar suara jeritan dari arah sana. Aku buru-buru menghampiri sumber suara dan mendapati Nadja yang sedang menangis di pojok ruangan itu, dengan serpihan beling dan obat yang bertebaran di lantai.

"Nadja?!"

Aku langsung menghampiri wanita itu dan memeluknya. Ia memberontak, tapi aku tetap memaksa memeluknya untuk menenangkan batinnya yang sedang terguncang.

"Ini semua salahku, Vin! Aku yang lalai menjaga kandunganku! Aku seorang Ibu yang bodoh!!"

"Stop, Nad. Jangan menyalahkan dirimu sendiri."

"Aku bodoh! Aku bodoh!!! Arghhhhh..!!"

"Cukup, Nad. Cukup!"

Nadja akhirnya menyerah dalam pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya, dan aku jadikan bahuku sebagai tempat untuk membagi seluruh keluh kesalnya.

"Kamu tidak bodoh atau apapun. Kamu wanita yang kuat, sayang."

Alvin mengeratkan pelukannya, "Kamu wanita yang tegar, dan semua ini bukan karena kesalahanmu atau kelalaianmu. Semua ini karena aku. Aku yang membuatmu menangis semalaman. Aku yang membuatmu terluka, dan aku juga yang membuatmu menjadi seperti ini. Aku yang bodoh!"

"Aku seorang Ibu yang jahat, karena hanya mementingkan diri sendiri. Aku tidak memikirkan nasib anak yang ada di dalam kandunganku."

"Cukup, Nad. Aku tidak mau mendengar apapun lagi darimu. Kamu bilang, hanya ingin melewati sisa pernikahnmu denganku secara damai. Aku akan mencoba untuk melakukan itu sampai kamu menandatangani surat cerai kita. Kapanpun itu, aku terima."

Setelah merasa Nadja mulai melemah, aku langsung menggendongnya dan meletakkan tubuhnya di ranjang rumah sakit. Lalu aku memanggil dokter untuk segera masuk ke dalam ruang rawat untuk melakukan pemeriksaan terhadap Nadja.

***

Author POV

Nadja baru tersadar kembali setelah tadi disuruh beristirahat oleh dokter Lana. Ia mengerjapkan matanya dan melihat Alvin yang sedang menelpon seseorang. Nadja menunggu Alvin sampai benar-benar selesai menelpon. Pria itu berbalik badan dan melihat Nadja yang sudah sadar sembari menangis.

"Nadja?"

Alvin menarik sebuah kursi untuk duduk di samping ranjang rumah sakit yang ditiduri oleh Nadja, "Ssttt... don't cry, please." Lalu Alvin meninggalkan sebuah kecupan hangat di kening wanita itu.

"Aku mau tanya sama kamu."

"Tanya apa?"

"Apa tadi kamu dipanggil oleh dokter Lana?"

Alvin mengangguk.

"Apa dia memberitahumu sesuatu tentang keadaanku saat ini? Maksudku, keadaan kandunganku saat ini."

"Dia bilang kamu kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Dia menyuruhmu untuk bedrest selama beberapa hari kedepan. Tapi, kandunganmu masih bisa di selamatkan. Dokter bilang, kalau kandunganmu ini sangat kuat, dan sehat."

Nadja menangis terharu mendengarnya. Ia tahu bahwa calon bayinya ini kuat. Nadja pun semakin yakin untuk terus mempertahankan kedua bayinya dan walaupun harus membesarkan mereka seorang diri, tanpa Alvin yang mendapinginya nanti.

"I'm so sorry, Nad. Aku yang salah. Maaf."

"Nggak perlu minta maaf, karena aku sudah memaafkan semua kesalahanmu. Satu hal lagi, aku mohon jangan beritahu Mama dan Papa kamu soal kejadian ini. Apalagi, kalau kamu sampai bilang ke Ibu aku. Dia pasti kepikiran nanti."

"Oke, kalau itu yang kamu mau."

Kamu pasti akan menerima bercerai denganku kapan saja, tapi aku tidak bisa menerima perceraian denganmu kapan saja, Alvin. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Terlalu sulit untukku melepaskan cintaku untukmu. Andaikan kamu tahu itu, Vin. Andaikan...

Lalu tiba-tiba Nadja merasa jika mualnya mulai menyerang dirinya lagi. Nadja menutup mulutnya, hingga Alvin datang membawa sebuah baskom kecil yang tadi di sediakan oleh seorang suster untuk mengantisipasi mual itu datang kembali.

"Hueekkk... hueekkk... hueekkk...!"

Alvin membantu Nadja memijat tenguk wanita itu. Ia sedikit merasa tidak tega melihat Nadja yang kewalahan menghadapi mualnya yang datang terus menerus. Membuat wajah istri keduanya itu pucat pasi dan menjadi tidak bertenaga.

"Vin, tolong ambilkan... hueekkkk! Hueekkk!"

Nad, separah itukah kodratmu menjadi seorang perempuan? Aku tidak tega melihatmu seperti ini. Jujur, saat Sofie mengalami hal yang sama, aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kamu rasakan sekarang. Tidak tega. Jika aku bisa menggantikan posisimu, biar aku saja yang ada di posisimu saat ini. Kamu terlalu lemah untuk menanggung ini seorang diri, Nad.

"Sudah?"

Nadja mengangguk. Lalu Alvin memberinya beberapa lembar tisu untuk mengelap mulutnya, dan segelas air untuk membantu menetralkan rasa pahit di mulut wanita itu.

Nadja hanya bisa terdiam, melihat sekelilingnya yang terasa berputar, dan mendengar Alvin bertanya kepadanya sebelum akhirnya ia pingsan.

"Bisakah kamu berbagi keadaanmu saat ini padaku? Kamu terlalu lemah untuk melewati ini seorang diri."

***

TBC.


Regards,

MEI

2 Hati 1 Cinta - Ketika Aku Mencintaimu Setengah Mati (OPEN PO)Where stories live. Discover now