Part 6 - Like that?

3.7K 232 14
                                    

Ia pun segera melipat asal koran yang sebelumnya kusibakkan begitu saja. Meletakkannya pada bangku paling belakang. Andrew melengkungkan jemarinya pada punggung tangankanku, tak mempedulikan ada orang lain dalam satu mobil yang bersama kami.

Iris mata kehijauan itu sungguhlah sangat meneduhkan. Ia pun segera mengulurkan telapak tangannya lalu mengusap pelan puncak kepalaku. Menyelipkan anak rambut ke belakang telingaku. Why don't we leave it at that? Bukankah semua sudah jelas bahwa sudah tidak ada yang perlu dikatakan lagi? I love him. Begitulah dunia tahu bahwa kami saling mencintai. Andrew, seems you cannot be replaced.

Apa memang harus seperti ini dulu? Melihat raganya tepat disampingku, begitu membuatku candu. Ini lebih memabukkan dari heroin. Andrew, jika tak ada dirimu didekatku..., dengan cara apalagi aku harus menenangkan hati ini?

Hufftttt!!! Mengapa aku begitu egois memikirkan perasaanku sendiri? Ya Tuhan, kuharap apapun yang kulakukan tidak melukai hatinya terlalu dalam. Semoga semesta mampu menyebuhkan luka miliknya.

"Aku menepati janjiku," ucapnya sembari tersenyum, lalu ia mencium sudut bibirku. Hanya sebatas kecupan singkat. Pertemuan kedua yang tak terasa canggung. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya yang hanya bisa saling bertatap dan saling berucap. Meski hanya moment sederhana seperti ini, entah mengapa aku begitu menyukai hal itu. Akupun tak lupa juga memberinya sebuah senyum terbaikku juga usapan lembut di lengan besarnya.

"Tentu saja. Kau memanglah pria seperti itu," balasku. Ya..., aku tahu Andrew. Aku mengerti dengan pasti bahwa kau adalah pria yang selalu menepati janji. Dan maafkan aku, karena sempat terbesit keraguan di hati ini.

Andrew, aku ingin mengatakan sesuatu hal. Andai saja kini kau tahu, aku mulai menyukai kopi favoritmu. Mungkin itu merupakan hal yang konyol, karena bisa jadi, hal itu sudah tidak lagi penting.

"Lalu, mengapa kau berada di sini?" tanyanya. Mendengar pertanyaan itu terasa aneh di telingaku. Tentu saja harusnya aku yang bertanya seperti itu. Maksudku, aku juga tak mengerti bagaimana ia bisa berada di Seattle sekarang? Yang kuingat, 2 hari yang lalu ia mendatangiku hanya untuk sekedar menanyakan pertunangan sialan itu. Tentu juga mengoles krim pada lenganku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana saat tangan kokoh itu menjelma menjadi pengobat untukku.

"Aku hanya tak bisa terlalu lama bersamanya," balasku. Harusnya bukan itu yang keluar dari mulutku, aku kemari juga karena permintaan Ayah. Lihatlah! Apa yang baru saja kuucapkan adalah sebuah kejujuran. Tak kupungkiri bahwa aku memang begitu muak dengan Gregory. Sungguh!

Kulihat lagi-lagi mata hijau milik Andrew masih sama, begitu mampu meneduhkan hatiku. Menggenggam tanganku, ia berusaha memberiku sebuah keyakinan. Aku tahu itu tepat ketika ia memberiku tiga kata pertama. "Kau harus terbiasa, Rabella. Beri aku waktu dan kau hanya perlu mengiyakan semua ucapannya, dia takkan menyakitimu."

"Dengarkan aku! Kini kau tak bisa lagi pergi kemanapun sesuka hatimu," sambungnya.

Melihatku yang hanya diam, ia tersenyum kecil. Senyum yang selalu kusukai. Dan mata hijaunya itu, kini kutatap sedikit meredup. Mata yang berwarna hijau tua seperti dedaunan yang ada di hutan kota kecil bernama Forks. Teduh, juga menyejukkan.

Ada hal lain yang membuatku terdiam bukan karena aku terhipnotis dengan mata juga senyumannya. Melainkan ada hal lain yang membuatku merasa aneh. Tapi, sekali lagi aku tak bisa menemukan jawabannya. Sama persis yang pernah Gregory katakan, apa benar aku adalah perempuan bodoh?

"Aku akan menjelaskannya. Setelah ini," balasnya cepat ketika kami sampai di pekarangan Mansion milik Davian.

Mengangguk kecil. Aku tahu Andrew selalu menjawab ketidak-mengertianku di waktu yang tepat. Begitulah Andrew, mampu menyelami kegundahanku tanpa aku harus memberi penjelasan yang menggebu. Dan aku begitu mencintai sang pemilik mata dedaunan yang begitu teduh.

°°°

Saat makan malam bersama dengan sang tuan rumah tadi, sedikit ada perdebatan kecil antara aku dan Davian. Namun, itu tak mengubah apapun jika memang tujuanku kemari bukanlah hanya untuk merayu agar Davian pulang. Kita lihat besok, apakah aku mampu melunakkan hati seorang seperti Davian? Entahlah.

"Andrew, kau tak apa?" tanyaku. Saat aku memasuki kamar ini, aku melihat wajahnya begitu letih. Duduk termenung di ujung ranjang sembari memijat pangkal hidungnya, aku pun berjalan ke arahnya.

"Andrew...." Kuraih pundaknya pelan namun ia tak bergeming. Sama sekali tak ada jawaban untukku. Ada apa dengannya? Kupikir Andrew begitu merindukanku. Kukira seperti itu. Tapi sepertinya aku salah, Andrew. Kau tak lagi seperti dulu, ketika sering mengecup sudut bibirku. Kau tak lagi sama seperti sebelumnya saat kau selalu menceritakan semua hal yang tak kumengerti tanpa harus kuminta dan menunggu terlalu lama.

Kupikir, aku memang salah mengatakan pada Lucy bahwa kau mampu menyelami kegundahanku.

Aku salah.

Dan sial! Mengapa aku begitu emosional. Lagi dan lagi untuk kesekian kalinya. Tak ada yang memahamiku dengan penuh pengertian.

Saat berada tepat di sampingnya, namun ia tak kunjung menyadari kehadiranku. Aku memutuskan untuk pergi ke balkon, membiarkannya seorang diri. Memegang tralis besi, bisa kurasakan dingin mengalir di jemariku. Kulihat langit malam begitu indah, bintang yang bertabur di langit mengingatkanku pada kesialanku. Maksudku, apa aku bisa menjadi bintang? Dari jauh terlihat kecil namun begitu bersinar. Apa aku bisa menyinari langit yang gelap hanya dengan sinarku?

Tentu saja tidak. Langit malamku sekarang adalah Gregory. Pria Arogan yang begitu kejam dan kelam. Aku tak bisa.

Gregory, apa kau akan meredupkan sinarku dan apa aku akan mati karenamu sebelum menemukan dermagaku kelak?

Lamunanku buyar tepat ketika sepasang tangan kekar melingkar di pinggulku, lalu kepalanya menempel di ceruk leherku. Aku begitu nyaman, dengan cepat suasana hatiku berubah. Aku tak ingin kehilangan moment saat ini. Hanya dengan dekapan seperti ini, rasa sakitku karena ia mengabaikanku seakan musnah.

Gregory, maaf. Jangan sakiti aku saat kau mengetahui ini. Maafkan aku. Tapi ini kebahagiaanku. Bersama Andrew aku tak pernah merasa ketakutan.

"Aku merindukanmu, Rabella," ucapnya. Aku begitu geli saat ia memperdalam kepalanya di ceruk leherku lagi.

"Aku jauh merindukanmu," kataku sembari membalikkan tubuhku. Kini kami saling berhadapan. Dan kulihat senyum menawan itu lagi. Senyum yang selalu kudapatkan darinya. Bibir yang selalu mengukir sebuah lengkungan sempurna yang begitu tulus.

"Apa ada yang menganggu pikiranmu?" Tanyaku lembut.

"Aku tahu ada yang tak beres darimu. Aku mencari tahu semuanya, sampai akhirnya aku mendapat titik terang bahwa kau membohongiku...."

"Kenapa kau melakukan itu?" sambungnya.

Dan aku tak bisa mengatakan apapun. Aku tahu kemana arah perbincangan ini. Untuk kali ini bibirku terasa kelu pun hanya bisa berkata, "Maaf, Andrew."

"Aku akan menjagamu. Kau harus bisa melewatinya, akan kulakukan apapun untukmu," balasnya. Tak lupa seperti kebiasaannya, ia pun membenarkan anak rambutku kebelakang telinga. Sembari tersenyum, ia mencium sudut bibirku lagi tanpa melepas rengkuhannya.

"Dan juga melakukan apapun itu adalah membiarkanku hidup bersama Gregory?"

Lima detik berlalu tak kudapatkan jawaban yang kumau. Aku melonggarkan pelukannya. Menatapnya tepat pada manik matanya. Kini aku semakin yakin, dengan apa yang sempat kupikirkan.

Aku telah keliru.


5 Januari 2024

Jangan lupa vote dan comment🥰

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang