Part 9 - You're My Destiny

1.7K 116 1
                                    

Sudah hampir pukul 10 pagi saat kualihkan pandanganku pada jam dinding di sebelah barat tempat tidurku. Saat kedua mataku terbuka sempurna, pandanganku terganggu olehnya yang sedang duduk di single sofa. Dia, sosok pria yang begitu tak kusukai dengan berbagai sikap menyebalkannya.

Setelan jas biru tua juga kemeja putih sudah membalut tubuhnya. Rambut tembaganya pun sudah tersisir dengan rapi. Gregory, aku melihat pria itu duduk dengan nyaman sembari sibuk dengan sebuah majalah tanpa menyadari aku yang sudah terbangun. Sepertinya, aku sendiri melewatkan beberapa hal, yang artinya aku tidak sadarkan diri selama kurang dari dua puluh empat jam. Kutarik selimutku pelan, dan benar saja. Kedua kakiku sudah terbalut perban dengan apik.

Kualihkan pandanganku untuk menatap Gregory. Setelah kuamati dengan seksama. Majalah yang dibaca Gregory adalah Cooking Light Magazine. Bukankah harusnya yang ia baca adalah sejenis Business Week Magazine? Untuk apa seorang sepertinya membaca majalah yang berfokus pada makanan sehat?

"Tak perlu berpura-pura tidur. Aku akan menjawab rasa penasaranmu," ucapnya.

Damn! Aku menggerutu dalam hati. Aku terlalu percaya diri jika Gregory tak menyadari kegiatanku sejak aku terbangun tadi. Jelas ia mengetahui saat aku mengobservasi kegiatannya membaca majalah sialan itu. Aku pun membenarkan poisiku menjadi duduk bersandar dengan bantal yang menjadi penjangganya. Kulihat sekali lagi ia tak mengubah rutinitasnya. Matanya masih sibuk dengan tulisan di kertas itu.

Menjawab rasa penasaranku katanya? Bahkan aku memiliki seribu satu pertanyaan. Tapi mungkin yang Gregory katakan benar juga. Aku pun hampir melupakan Andrew. Di mana pria pemilik iris kehijauan itu? Ia bahkan tak menepati janjinya untuk menemuiku. Memeriksa ponselku, tak ada daftar panggilan tak terjawab darinya juga tak kudapatkan pesan apapun.

Saat pandangan kami bertemu, jika harusnya aku mengalihkan tatapanku darinya, entah kenapa aku masih saja berani menatap Gregory. Karena kali ini ia berbeda, sungguh. Tapi entahlah. Mungkin ini hanya sugesti yang kubuat karena kejadian kemarin. Menutup majalahnya lalu meletakkannya kembali di atas nakas. Ia seperti menghubungi seseorang melalui pesan. Ia terlihat lincah mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya.

"Bukan aku yang membalut kakimu." Ia pun mengatakan hal itu tanpa menatapku sama sekali. Bukankah itu suatu kebohongan? Atau ia coba mengalihkan topik pembicaraan ini? Tentu saja.

"Dokter," sambungnya cepat.

Kali ini, untuk pertama kalinya aku tersenyum saat bersama Gregory. Menurutku itu bukan hal yang besar. Kukira ia akan menjawab beberapa pertanyaan yang mengganjal di pikiranku. Bahkan, hal yang baru saja Gregory katakan itu sangat tidak penting untukku. Kukira respon Gregory tadi hanya tak ingin mengakui bahwa ia menolongku? Ini begitu konyol.

"Terimakasih," balasku singkat. Kuputuskan untuk berterimakasih karena bagaimanapun ia sudah cukup baik karena tak meninggalkanku seorang diri pada saat ia sudah membuatku celaka.

"Forget it, Bella!"

Kenapa Gregory? Mengapa kurasa kau bersikap begitu karena satu hal. Setelah kau melukaiku, kau memperlakukan aku dengan hal yang berbeda. Apa selalu seperti ini watak pria obsesi?

Mungkin, setelah apa yang terjadi kemarin apa aku bisa berjalan beriringan dengan semua pemikiran Gregory? Setidaknya, aku tak perlu untuk merasakan luka di setiap tubuhku karena usahaku untuk melawan pria arogan sepertinya. Ide konyol. Apa yang baru saja otakku pikirkan adalah sebuah ketololan. Tentu saja itu takkan pernah mungkin.

"Jangan pernah membuatku marah. Aku tak suka menyakitimu." Meletakkan kembali ponsel pada sakunya. Gregory pun kembali mengingatkanku pada kesepakatan yang sudah kita buat beberapa hari lalu. Tentunya hal itu berkaitan tentang ayahku.

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang