Part 7 - I'm, his weakness

2K 139 1
                                    

"Kau pun tahu dengan jelas apa jawabannya. Aku takkan mengulang untuk menjawab pertanyaan itu. Rabella, trust me!"

Walau balasannya tak berhasil menepis keraguanku sepenuhnya. Kupikir, memang sekarang bukan saatnya untuk memperdebatkan hal seperti ini. Kuharap entah kapan waktu itu akan memihakku, Andrew segera memberi semua jawaban yang selama beberapa hari ini merenggut semua fokusku. Kami pun masih saling menatap, pandangan dari balik iris mata hijaunya terlihat begitu teduh. Entah mengapa keberadannya didekatku selalu memberi penenang untukku, seolah aku mampu sedikit meredakan gelisah di hatiku.

Maka sekarang, biarkan aku sendiri yang membuat perasaanku lega. Mendepak semua kekhawatiran yang disebabkq9an oleh Gregory. "Andrew, berjanjilah sesuatu padaku," pintaku.

Tersenyum tipis, lalu mengecup keningku. Kemudian turun pada sudut bibirku, ia pun meninggalkan sebuah kecupan singkat di sana. Seakan mengerti apa yang kumau, lalu ia berkata, "If I could, I never go to the end. Just for you."

"And you're the only ever I want," sambungnya.

Katakan aku adalah wanita paling egois, yang sudah meninggalkannya tapi menginginkannya untuk tetap tinggal. Aku tidak akan pernah peduli dengan apa yang kalian pikirkan mengenaiku. Karena aku hanya akan hidup berdampingan dengan orang-orang yang menghargai arti pengorbanan juga ketulusan.

Andrew, karena walau tak sepenuhnya, kau sedikit melegakan kegundahanku.

Andrew, terimakasih. Karena kau sudah sudi menjadi salah satu hal terbaik yang kupunya. Akupun merasa menjadi wanita paling beruntung, paling bahagia akan hal itu.

"No man love me than you. I love you."

°°°


Saat aku membuka kedua mataku, detik itu juga lengkungan di bibirku terukir sempurna. Lengan kekarnya memelukku dengan posesif. Kupikir ia akan meninggalkanku ketika aku mulai tertidur. Kuarahkan jemariku pada rahang kokohnya yang mulai di tumbuhi rambut-rambut halus. Aku ingin menatap mata hijaunya yang meneduhkan, tak peduli walau ia terusik.

"Andrew, kupikir kau harus bercukur."

Iapun tak terusik, pun juga tak menggerakkan badannya sedikitpun. Andrew buka matamu. Tunjukkan mata hijaumu itu.

"Andrew, apa kau sekarang berniat memiliki jambang?" Tanyaku sedikit terkekeh.

"Rabella, kenapa kau selalu menganggu tidurku?" katanya sedikit menggerutu.

Aku tahu ia kesal karena selalu seperti ini yang kulakukan padanya. Selama lebih dari seminggu ini sudah kubilang aku tak lagi pernah melihat raganya ketika pagi tiba. Dan aku begitu merindukanya.

Aku pun tertawa kecil. Walau ia kesal, aku tahu persis bahwa Andrew akan tetap menurutiku. Saat kelopak matanya terbuka sempurna, aku melihat mata hijau itu membuat seolah duniaku teralihkan. Aku melihat cintanya padaku, cinta yang masih tetap sama seperti dulu walau keadaan tak lagi sama. Aku tersenyum lagi dan lagi karena hanya itu yang bisa kulakukan untuk melegakan hatiku. Sembari menikmati pemandangan memabukkan di hadapanku ini, akupun sedang berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa keadaan akan baik baik saja. Meski bersamaan dengan itu aku juga merasakan pedih. Namun, entah kenapa saat ini aku begitu mudah menangis. Kuakui aku begitu lemah, terluka, kecewa, patah, tapi pada saat itu juga aku harus menjadi kuat untuk diriku sendiri. Harus tegar meski cemas dengan hari yang akan kulalui kedepannya.

Gregory, kuharap kau takkan lakukan hal yang akan membuat lukaku semakin parah. Semoga kau tak lagi ciptakan keadaan rumit. Cukuplah ragaku saja yang kau kendalikan. Jangan cintaku.

"Memikirkan Gregory?" tanyanya. Aku hanya mengangguk, sebab bibirku begitu kelu meski hanya mengatakan iya.

Gregory, selamat! Kau menghancurkan dua kehidupan sekaligus. Ayahku, dan juga cintaku.

"Tak perlu memikirkannya, semuanya akan baik-baik saja." Lalu ia mengecup keningku. Seperti itulah Andrew, ia mampu menyulap sisi sedih perasaanku dalam hitungan detik. Seperti Ayah yang menepis kecemasanku dalam sekejab dengan pelukannya. Selain senyum, mata hijau milik Andrew, perkataannya pun bak sihir yang menyulap semua energi buruk menjadi sebuah ketenangan.

"Mandilah, kita akan pulang," sambungnya.

"Tentu saja. Apa kita akan pulang bersama?" Tanyaku.

"Yap. Aku akan pulang bersamamu," balasnya. Tak lupa seperti biasanya ia selalu mengusap puncak kepalaku.

Lagipula aku juga harus segera pulang. Jika tidak, aku tak tahu apa yang akan Gregory lakukan jika aku tak kunjung kembali. Karena aku tahu dengan pasti, bagaimana pria itu akan selalu memastikan bahwa rantai yang ia pasang padaku masih dalam keadaan aman. Begitulah lelaki itu. Pria pemarah juga sakit jiwa.

"Mau mandi bersama?"

"In your dream Mr. Grissham," balasku. Melemparnya dengan bantal, kamipun tertawa bersama. Ia hanya mencoba membuatku tertawa dengan menggodaku seperti itu. Percayalah! Walaupun kami selalu tidur bersama, Andrew adalah tipe pria penganut prinsip kuno. No sex before marriage.

Ada banyak cara mengungkapkan cinta, bukan hanya dengan menyatukan diri di atas ranjang. Aku masih ingat, kalimat itu adalah ucapan Andrew dulu. Dan ia, tidak memilih hal seperti itu. Pria pemilik iris mata kehijauan ini menghormati perempuan dengan begitu tulus.

Di keadaan saat ini aku memikirkan tiga hal yang pasti untukku. Pertama, Gregory pun kini hadir dalam kehidupanku. Kedua, aku tak tahu seberapa besar kemungkinan aku dan Andrew akan benar-benar terpisah jauh seperti langit dan bumi. Ketiga, jika hal kedua itu benar terjadi. Maka aku akan selalu mencintainya. Perasaanku takkan bisa ditarik kembali. Jikapun Gregory berusaha dengan sekuat tenaga melenyapkan perasaanku.

○○○○○


Beberapa puluh menit berlalu, sebelum pergi ke Bandara. Davian mengundangku juga Andrew untuk sarapan bersama di salah satu Resto rekan kerjanya. Aku tak peduli dengan alasan Davian mengajakku sarapan bersama pagi ini. Kupikir, itu hanyalah salah satu caranya untuk terlihat menghargaiku di depan Andrew setelah perdebatan kemarin. Bukankah seperti itu?

"Rabella, saat pertunanganmu aku akan pulang dan akan menetap di sana."

Saat aku hendak menyuapkan sesendok sup. Aku menghentikan rutinitasku. Apa pendengaranku masih berfungsi dengan baik? Apa ini caranya bercanda denganku? Seakan paham bahwa aku sama sekali tak mempercayainya. Davian memberiku sebuah dokumen pemindahan semua saham miliknya di kota ini. Aku membacanya dengan seksama.

"Membebaskanmu dari manusia keparat itu, juga aku takkan lagi membiarkan keluargaku di tipu," sambungnya.

Dan saat ini, aku baru tahu jika Davian peduli denganku. Aku salah paham terhadapnya.

"Terimakasih, Davian," ucapku sembari tersenyum ke arahnya. Ini adalah senyuman  tertulusku yang pernah kuberikan pada kakakku ini.

Aku melirik Andrew untuk meminta penjelasannya, sedangkan yang kulirik hanya mengangkat kedua bahunya. Apa yang ia katakan pada Davian hingga orang kolot seperti kakakku itu mau meninggalkan kota impiannya? Ayah juga Ibu yang memintanya dulu tak pernah digubrisnya sama sekali.

Aku akan menanyakannya nanti. Sudah kubilang kan? Bahwa Andrew adalah pria yang penuh dengan kejutan. Terimakasih Andrew. Setidaknya, aku mampu memenuhi permintaan Ayah untuk membawa Davian yang kolot itu pulang.

"Rabella. Bagaimana jika pria itu menyakitimu? Aku hanya tak ingin hal itu terjadi ketika saat Andrew pergi," ucap Davian.

Tapi, apa yang Davian katakan ada benarnya. Bagaimana jika Gregory melukaiku? Bagaimana jika ia menyakitiku seperti saat itu? Lalu Andrew pergi seperti apa yang Davian katakan? Dan tak ada yang mengoles krim lagi ketika aku terluka.

Tunggu! Pergi? Nyatanya itu takkan terjadi. Ia sudah berjanji padaku, brother!

Tapi untuk hal pertama, tentu saja Gregory takkan lagi melukaiku seperti apa yang Davian katakan. Tidak akan, karena aku tahu kelemahannya.

Gregory mencintaiku, dan aku adalah sisi lemahnya.

Happy Readinggg
5 Januari 2024

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang