Part 15 - He's Crazy

1.4K 90 3
                                    

"Hahahahahaha. Luar biasa sayang. Kau hanya merusak satu dari puluhan benda kecil itu."

"Bagaimana kau bisa memasang semua itu di sini?"

"Biarkan itu menjadi urusanku. Hahaha" Belum sempat aku mengucapkan sepatah kata. Gregory mematikan sambungan telponnya diakhiri dengan tawanya lagi yang begitu nyaring.

Menaruh ponselku di atas nakas. Mataku berusaha menelisik ke semua penjuru kamar ini untuk mencari keberadaan benda kecil itu. Namun nihil yang  kudapatkan. Gregory memasang ini dan masih banyak lagi penyadap dan kamera. Gregory benar-benar biadab. Mengembuskan napas pelan kini itu tak lagi menjadi masalah. Tak perlu permasalahkan itu Bella, itu tak penting karena sebentar lagi kau takkan tinggal di sini. Dan yang lebih penting adalah....,

Siapa yang memasang semua ini? Tak mungkin jika Gregory yang melakukannya. Kulirik jam dinding menunjukkan tengah malam sudah terlewat hampir satu jam.

Duduk di sofa, kusandarkan kepalaku di sana. Lalu kupejamkan mataku. Mencoba rilex, namun kegundahan kembali datang menyelimuti hatiku. Aku begitu lelah, aku tak kuat terus melawan arus kehidupanku yang dipermainkan oleh seorang Gregory. Dan malam ini adalah malam terakhir di mana mimpi indahku datang. Begitupula malam selanjutnya, mimpi buruk akan menghantuiku setiap harinya.

Dan di dalam keheningan ini aku hanya bisa berharap, semoga doaku dapat mewakili hatiku. Juga kuharap orang yang tak sengaja kusakiti mampu menyelami kegundahanku tanpa aku harus memberi sebuah penjelasan menggebu-nggebu. Seperti Andrew yang mampu menepis kegelisahananku, sebagaimana dulu ia pernah memberiku sebuah pundak tempatku bersandar, maka keinginanku tak lebih dari itu.

Kuakui kali ini aku begitu ingin melayangkan bendera putih. Aku tepar menghadapi gejolak yang merundung hati juga pikiranku. Darahpun sudah kurasakan mulai mengering di nadiku. Seperti robot, akupun sudah dikendalikan. Bukan hanya cinta, tapi juga perasaanku.

Sekali lagi, seperti musim gugur yang berhasil meluruhkan cintaku. Apa ambisi juga harus tandas saat ini juga?

Aku tahu, bahwa untuk kehidupan yang lebih layak harus jatuh berkali-kali. Sandungan batu kecilpun takkan berarti apa-apa. Tapi sekali lagi, walau jiwaku ingin menolak semua penderitaan ini. Ragaku begitu lelah, tak ada gairah sama sekali ketika aku harus menyaksikan setiap orang yang kukasihi harus merasakan balasan atas keegoisanku.

Untuk kesekian kalinya, apa ketika gemerlap bintang mulai lipur, semangat hidupku juga harus gugur, hanya karena ia yang tak lagi hadir tuk melipur?

Mengapa selalu saja ada janji untuk sebuah pelukan kedamaian? Jika Tuhan pula yang ingkar dengan ikrar yang ia layangkan pada sebuah pedoman hidup para manusia? Aku tidak mengutuk Tuhanku, hanya saja aku merutuki kemalangan hidup ini. Mengapa Tuhan selalu memberiku sebuah harapan, jika akan kembali menerjangku dengan badai keperihan?

Ya Tuhan. Aku begitu lelah. Sungguh, ragaku tak lagi mampu untuk pergi ke medan perang. Melakukan gencatan senjata tak lagi kuat kulakukan.

Sekali lagi kukatakan, bahwa batu karang pun akan tandas jika ombak liar terus menghantam.
Dan aku?
Aku tak lagi tabah untuk menyongsong riak yang terus menggasak.

Mengusap air mataku, aku seakan sadar tepat ketika wajah ayah terngiang dalam ingatanku.

Tuhan, beri aku kekuatan.

°°°°

"Ada apa, Rabella? Kenapa kau menghampiri diriku di kantor, bukankah hari ini pertunanganmu?" tanya Andrew padaku. Matanya menelisik diriku. Berusaha memahami diriku yang begitu gelisah, deru napasku yang coba kuatur seolah sia-sia.

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang