Part 8 - Gregory

1.8K 135 2
                                    

Hari libur ini, aku dan Andrew berencana untuk pergi ke kantor kepolisian. Andrew berucap padaku, bahwa ada sesuatu hal yang hendak ia bicarakan pada Ayah. Ia tak mengatakan lebih spesifik hal apa yang akan ia katakan. Kupikir, rencana Andrew yang sudah kami sepakati dalam perjalanan pulang kemarin merupakan ide yang sangat buruk. Mengingat aku tahu persis bagaimana reaksi Gregory ketika mengetahui Andrew yang sedang bersamaku. Aku pun juga bisa menebak dengan pasti apa yang akan kudapatkan, ketika berani membangunkan insting singa yang di miliki oleh pria arogan sepertinya.

Sejak malam saat aku tiba di apartemen, sesuai jam kesepakatan Anton tak menelponku. Ia yang harusnya menyampaikan padaku mengenai hasil pekerjaan yang kutinggalkan selama sehari penuh. Aku sedikit mengkhawatirkan satu hal, bagaimana jika seorang Gregory melakukan hal di luar nalar seorang manusia pada Anton? Hanya untuk memenuhi semua hal yang ingin ia ketahui. Segera kugelengkan kepala lalu aku menarik napas. Come on! Rabella! Mengapa sekarang aku begitu mudah sekali berpikiran negatif? Lagipula aku yakin, Gregory tak tertarik bila harus berurusan dengan pria seperti Anton.

Melihat jam dinding, aku masih memiliki waktu kurang dari dua jam sebelum kedatangan Andrew untuk menjemputku. Kupikir itu waktu yang cukup untuk memasak makanan favoritnya. Selain kopi espreso, tentunya lelaki pemilik mata hijau itu begitu menyukai wafel dengan selai anggur. Kebiasaannya yang sangat kuhafal hampir 4 tahun berlalu hingga saat ini.

Yang sangat kusukai selain mata hijau yang begitu teduh juga senyumannya yang menawan, terutama saat ia memuji masakanku. Sembari terus mengunyah makanannya, itulah yang membuatku senang karena tak tersisa apapun lagi di atas piringnya selain garbu dan pisau. Dan hal itu, membuatku bangga akan diriku. Bukankah seperti itu yang dirasakan oleh semua wanita jika maha karyanya di hargai? Tentu saja.

Entah memgapa melakukan rutinitas seperti ini membuatku merasa senang. Detikpun terus berdenting. Waktu berjalan bak sumbu yang tersulut. Satu jam berlalu aku hampir menyelesaikan panganggan terakhir adonan wafel yang kubuat. Lalu tak lama bel apartemen berbunyi, aku pun mematikan kompor menyisakan panganggan wafel yang belum sepenuhnya matang. Berjalan ke arah ruang tamu sembari membawa hasil masakanku. Aku melangkahkan kaki dengan riang dan penuh semangat. Berada di depan pintu, kugunakan tangan kiriku untuk menekan tombol kunci digital yang terletak di sebelah handle pintu.

Oh shit!!

Tak ada yang bisa menduga apa yang terjadi tepat ketika pintu sudah terbuka. Dalam waktu singkat aku merasakan bagian telapak tanganku terasa dingin. Memegang piring cukup erat kurasakan tanganku sedikit gemetar. Mata tajam cokelat gelap itu pun berhasil membuatku spontan menundukkan wajah. Lalu dengan cepat kurasakan dorongan pelan hingga aku menjauh dari pintu. Menutup pintu dengan kasar, lalu lelaki ini memegang lenganku cukup kuat.

"You make me shock," ucapku.

Tak menjawab ucapanku, ia melempar piring yang kubawa tepat pada dinding yang berada di sampingku. Hasil usahaku selama satu jam berada di dapur kini berantakan tercecer di atas lantai. Melihat wajah arogan itu juga apa yang telah ia lakukan benar-benar keterlaluan! Selain sangat menyayangkan masakan yang telah kubuat, aku pun tak berani berbuat apapun. Aku takut Gregory akan kembali menyakitiku. Walau aku memiliki argumen jika aku adalah kelemahan Gregory, tetap saja aku belum menguji spekulasi itu. Aku harus menguji terkaan yang telah kuperkirakan sebelum pada waktunya aku memanfaatkannya di waktu yang tepat.

Kedua tangannya yang masih berada di lenganku, kini kuberanikan untuk menatapnya. Tersenyum tipis padanya, ia mulai melepaskan tanganya pada lenganku dengan segera. Kutangkap gerakan tubuhnya sedikit kikuk. Meski begitu kini tingkah memuakkannya mulai kembali ke keadaan semula. Berusaha mengejutkankan dengan berteriak woa! Ia lalu tertawa begitu nyaring seolah apa yang baru saja ia lakukan adalah sebuah lelucon.

Kudorong pelan tubuhnya. Namun usahaku hanya membuatnya sedikit berpindah tempat. Kini matanya tak lepas menatapku tajam. Tarikan paksa pada sudut bibirnya membuatku tak nyaman berada di hadapannya. Sebuah senyum tak simetris yang selalu ia tunjukkan untuk membuatku terintimidasi.

"Hahahhaa. Because I want to make a really big surprise,Bella...,"

"Ahh yeah. Sepertinya tanpa sengaja aku merusak pagimu," sambungnya. Aku tak berniat untuk menjawab ucapannya. Lagipula tak perlu meladeni omong kosong Gregory. Saat aku hendak pergi mengambil alat untuk membersihkan pecahan piring, Gregory kembali menarik tanganku hingga kami kembali saling berhadapan dengan posisi yang sedikit lebih intens.

"Kau pergi ke Seattle seorang diri dan pulang bersama mantan kekasihmu itu. Apa yang kau lakukan bersamanya?"

Seperti petir yang menyambar di cuaca cerah, ucapan Gregory belum sempat kupikirkan jawabannya. Aku tahu Gregory akan menanyakan kepergianku. Tapi, bagaimana ia bisa tahu jika aku kembali bersama dengan Andrew? Meski mata cokelat itu tak lagi menatapku tajam, namun hal itu secara alami membuatku merasa sedikit gerah. Bukan sepenuhnya mengenai pertanyaan itu yang membuatku cemas. Namun firasat buruk kurasakan tepat saat datangannya Gregory kemari. 

Okay slow down Bella! Kuasai dirimu, lalu kendalikan situasi ini. Ingat! Jika Gregory cerdas, maka kau harus lebih cerdik.

"Maaf Gregory," kataku pelan. Entah aku takut pada makian Gregory atau secara tidak langsung memang ini adalah cara menghadapi Gregory? Yang jelas aku takut jika pria di hadapanku ini akan melakukan sesuatu yang akan membuat keadaan bertambah rumit.

Aku meringis kesakitan ketika Gregory tiba-tiba mendorongku ke arah dinding, sehingga membuat serpihan kaca piring tadi tertancap pada telapak kakiku. Ia pun kembali mengunci tubuhku. Hingga tak kutemukan sedikit ruang hanya untuk menggerakkan tanganku. "Dengar! Persetan dengan semua ancamanmu."

Sungguh raut wajah Gregory terlihat begitu menyeramkan saat tekanan suaranya begitu tinggi. Aku pun berusaha menahan perih pada bawah kakiku sembari terus memandangi mata cokelat itu. Berusaha mencari jawaban dari spekulasi yang kuyakini. Namun saat iris mata itu tak kunjung meredup, aku pun sadar bahwa terkaan yang sempat kupikirkan ternyata telah keliru. Harusnya aku sadar, bahwa tak pernah ada cinta jika dia bersikap seperti sekarang. Ini hanyalah caranya untuk mendapatkan apa yang ia mau.

Gregory, sepertinya memang argumen yang kumiliki adalah sebuah ketololan. Aku salah karena telah menganggapmu sama seperti pria pada umumnya.

Tapi, aku takkan menyerah.

Aku akan mencobanya sekali lagi.

"Gregory. Kau menyakitiku," ucapku lirih lalu aku menangis. Kakiku benar-benar terasa perih. Selain ini hanyalah tangisan bualan, tak kupungkiri bahwa tertancap serpihan kaca sangatlah sakit. Sekian detik lalu kulihat ia hanya diam mematung. Kini aku tak sepenuhnya mampu menahan tubuhku. Aku tak lagi melihat wajah amarah Gregory, saat kini ia mulai menahan berat tubuhku sepenuhnya. Tatapannya saat ini kuartikan sebagai sebuah kecemasan.

Gregory.... Apa kini, aku benar?

Gregory.... Tunjukkan sikap aslimu!

"Rabella. Maafkan aku," katanya pelan.

Gregory..., Jadi benar yang kupikirkan sejak pelukan pertama itu? Kau pria lemah. Dan aku adalah kelemahanmu. 

-Tbc-

5 JANUARI 2024

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang