Part 16 - Lunch

1.5K 65 7
                                    

Tak kusangka pertemuan dengan Nyonya Davidson dipilihnya di sebuah cafe juga resto favoritku dengan Andrew. Penataan dengan gaya klasik begitu memanjakan siapa saja pengunjung yang datang kemari. Union Square Cafe, resto yang menyajikan masakan Amerika baru, yang terletak di kawasan Manhattan. Seolah memutar memori masa lalu, Gregory menyadarkanku dari lamunan.

"Aku sudah mereservasi cafe ini untukmu. Kau senang?" Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Gregory. Tentu saja aku cukup senang jika tujuannya untuk mengingatkan kenanganku ketika bersama Andrew. Setelah aku melihatnya sekilas, aku pun mendengar tawa kecilnya.

Seorang waitress datang mengantar kami ke tempat dimana Gregory sudah mereservasi privat room. Jika bukan karena ayahku, aku takkan sudi jika Gregory berlaku seolah aku benar-benar mencintainya. Merengkuh pinggangku, bila bukan di tempat umum aku sudah mencakarinya, atau paling tidak menuangkan sup panas di wajahnya.

Saat kami berjalan menuju privat room yang ada di lantai dua, kini Gregory menggandeng pergelangan tanganku. Namun pada anak tangga pertama, aku merasakan cekalan tangan dari belakang yang begitu kuat hingga aku terlepas dari genggaman tangan Gregory. Tanpa kuperkirakan aliran panas menjalar di areal pipiku. Meringis kesakitan, kurasakan sebuah tamparan kedua yang membuat sudut bibirku berdarah. Aku menatap seorang perempuan di hadapanku, matanya berkilat amarah. Bahkan, ia tak memperdulikan keadaan sekitar yang mulai menjadikan kami sebagai pusat perhatian. Kupegangi pipiku, kali ini aku benar-benar ingin menangis. Sungguh, aku tahu diri dengan apa yang kulakukan. Jika memang ini pantas, aku pun tak masalah.

"Hey!! Kau tak berhak melakukan itu padanya!!" Dan kulihat Gregory begitu marah.

Ketika aku hampir terjatuh karena tarikan itu, untunglah Gregory menahan separuh berat badanku dengan cepat. Tapi, ia tak sempat menolongku dari dua tamparan beruntun yang kudapat karena hal itu begitu cepat. Dua detik kudapatan dua tamparan sekaligus.

Tak mau mencari keributan, aku juga tak mau Gregory melakukan hal-hal yang tak kuinginkan pada keluarga Grissham lagi. Aku berniat mengajak Gregory untuk pergi sesegera mungkin untuk menemui Nyonya Davidson.

"Gregory, ayo," ucapku. Lalu kutarik lengannya. Namun ia tak mengindahkan ajakanku. Kutatap mata cokelatnya. Bahkan kini pandanganku mulai mengabur. Seakan memaksa tumpah, kuseka dengan cepat cairan bening ini.

"Andrew memang benar-benar bodoh! Tak mengerti sikapmu yang sesungguhnya," ucap Nyonya Grissham. Menudingkan jari telunjuknya padaku. Ia menatapku dengan penuh amarah. "Dan ya kau nak. Dia perempuan jalang, jangan pernah kau menjalin hubungan dengannya," sambungnya.

Saat Gregory hendak membalas ucapan Nyonya Grissham, kusentuh lengannya. Ini kebiasaanku saat Andrew mulai marah agar kemurkaan itu mereda. Dan kali ini, entah berpengaruh atau tidak pada Gregory.

"Woaaa! Nyonya Grissham yang terhormat. Bahkan satu jarimu yang menunjuk ke arah Bella, ada tiga jari yang menunjuk ke arahmu sendiri."

Aku menatap Nyonya Gissham memohon. Meminta maaf dalam bahasa mata. Bibirku sungguh tak mampu mengatakan apapun. Tanpa berpikir panjang, aku pergi meninggalkan Gregory dan Nyonya Grissham yang sepertinya akan kembali memperdebatkan masalah yang sama. Bahwa aku adalah perempuan jalang. Berlari kecil ke arah toilet, kupikir aku sudah tak bisa menangis lagi, kukira pasokan air mataku sudah mengering. Namun, mengapa aku menangis lagi seperti ini? Aku sudah berjanji pada orang yang kukasihi untuk tak menangis.

Ya Tuhan. Mengapa selalu seperti ini? Aku begitu lelah dengan ombak liar yang semakin menggasakku. Aku tak kuat. Tak ada orang yang mempercayai niat juga tujuanku.

Mematut diri di cermin yang ada di dalam toilet. Kutatap sudut bibirku yang mulai terlihat membiru. Darah sebiji jagung yang mulai mengering kubasuh pelan. Aku kembali melihat pantulan wajahku. Nyonya Grissham, apa aku memang terlihat seperti jalang? Kenapa kau berpikir seperti itu! Dan mengapa kau tak coba pahami bagaimana berada posisiku! Aku tak marah jika kau memakiku seperti waktu itu, aku hanya terluka saat kau mengataiku dengan kata-kata yang begitu kotor.

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang