P R O L O G

112K 2.6K 39
                                    

Alexandra Angkawidjaja tidak peduli suara gemelutuk sepatu hak tingginya mengganggu semua orang yang ada di lantai delapan belas ini. Dia membiarkan dirinya menjadi pusat perhatian—karena hal seperti ini sudah sering terjadi dalam hidupnya. Kaum adam pasti langsung menggeliat lapar bak singa jantan yang hendak diberi daging segar sementara kaum hawa akan berdecak iri pada dirinya.

Pada wajah cantiknya yang memiliki garis tegas. Pada rambut panjang hitam dengan ombre kecoklatan di bagian bawahnya yang bergerak saat dia berjalan. Pada dada dan pantatnya yang seakan naik turun seirama gerak kakinya. Dan pada kaki-kaki jenjangnya yang ter-ekspose tanpa ampun.

Alexandra mendengus pelan, memejamkan mata sesaat sebelum dia mendorong kuat-kuat kenop pintu kaca yang ada di depannya. Kedatangannya sontak membuat dua orang yang ada di dalam ruangan terkesiap. Dua pasang mata itu menghunusnya, namun hal itu tidak membuat Alexandra mundur. Dia tetap melangkah maju, dengan tangan kanan menggenggam erat-erat tali tasnya.

"Bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk, tuan puteri?"

Bola mata Alexandra berputar mendengar kalimat dari seorang lelaki bersetelan jas hitam yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Dibandingkan reaksi lelaki itu yang sudah terlihat tenang, perempuan yang berdiri di sebelahnya justru terlihat takut-takut kala mata Alexandra balas menatapnya. Perempuan itu menundukkan kepala, tidak punya nyali menghadapi Alexandra seolah seorang Alexandra Angkawidjaja adalah malaikat pencabut nyawa yang dikirim oleh neraka.

"S–sa..saya permisi—"

"Why?" putus Alexandra cepat. "Selesaikan dulu pekerjaanmu dengan tuan besar ini, baru setelah itu kamu bisa keluar."

Alexandra menekankan kata tuan besar sambil matanya membeliak tegas ke arah lelaki yang kini menyunggingkan senyum padanya.

"Pekerjaannya sudah selesai," jawab perempuan berambut sebahu itu. Dari nada bicaranya, jelas terdengar rasa takut masih menyelubunginya. "Saya permisi..."

Dia berjalan cepat, melintasi Alexandra tanpa mau bertukar tatap lagi. Dia tidak tahu kalau Alexandra dapat mengendus aroma yang tertempel di blus putih ketat yang menyekap tubuhnya.

"Apa aku mengganggumu?"

"Pertanyaan macam apa itu?" Barsena Hardjasukmana membalas pertanyaan tunangannya dengan santai. Sama santainya dengan gerak tubuhnya menyandarkan punggung. "Sejak kapan kamu berubah menjadi pengganggu?"

"Ah, bullshit!" Alexandra menukas tajam. "Do you want to fuck her?"

"Wait—what?"

"Nggak usah pura-pura kaget. Aku bisa mencium bau parfummu di bajunya walau cuma sekali lintas saja."

"That's too sweet, baby. Kamu hafal aroma parfumku dan itu membuatku makin cinta padamu."

"Hentikan itu, bodoh!" desis Alexandra. Dia lantas membuka tas, berniat mengeluarkan sesuatu yang menjadi tujuan utamanya bertandang ke kantor tunangannya pagi ini. Dan begitu benda yang dia cari ketemu, Alexandra segera melempar benda itu sampai mengenai dada Barsena dan terjatuh ke atas pahanya.

Barsena mengambil benda yang dilemparkan Alexandra. Sekotak kondom. Tanpa perlu bertanya, otaknya sudah paham kenapa mood Alexandra berubah buruk pagi ini. Padahal semalam mereka masih bertukar kehangatan di ranjang yang sama.

"Ah, aku ketahuan."

"Lagi," sambar Alexandra. Sementara lelaki di depannya bukannya menunjukkan ekspresi bersalah, malah justru terkekeh tanpa dosa. "Aku kesini memang sengaja mengantarkan benda itu, siapa tahu saja mau kamu pakai untuk bercinta dengan sekretaris bodohmu yang bahkan tubuhnya tidak lebih baik dari wanita jalangmu minggu lalu. Tapi mungkin aku salah, fuck-guy macam kamu pasti punya banyak persediaan. Dimanapun."

"Sayangnya kamu salah, baby. Aku nggak punya stok benda ini di kantorku. Dan ya—" Barsena mengangkat kotak kondom di tangannya. "—mungkin kita bisa memakainya berdua?"

"You're son of bitch!"

"That's why you love me, huh?"

"Iya, dulu, sebelum aku tahu seberapa brengseknya kamu."

Barsena mengangkat kedua bahunya. "Skor kita sama, baby. Ingat itu. Bukan aku yang mendapatkan milikmu untuk pertama kalinya. Kamu sudah memberikannya lebih dulu pada lelaki bodoh itu."

"Aku cuma melakukan itu dengan satu orang dan kamu membalasnya dengan banyak perempuan, tuan Barsena Hardjasukmana. Atau yang lebih pantas disebut tuan hidung belang pencari kenikmatan belaka?"

"Ayolah, Alexa. Kita hidup di era millennials, hal kecil semacam itu bukan larangan yang nggak boleh dilanggar. Selagi kita juga bisa menikmati waktu berdua, bukannya itu sama aja?"

"Ya, ya, terserah," ucap Alexandra lelah menghadapi Barsena. "Kalau bukan karena nenekmu, mungkin aku sudah menendangmu dari jendela lantai delapan belas ini. Orang sepertimu lebih pantas hidup di neraka."

Barsena menarik dua sudut bibirnya. "You know what—kamu terlihat seksi saat sedang marah. Dan jangan salahkan aku kalau kamu akan keluar dari tempat ini dengan make-up berantakan dan baju yang kusut."

Perkataan Barsena barusan membuat darah di tubuh Alexandra serasa mendidih. Perempuan itu memejamkan matanya lagi, dua detik lamanya sampai dia memutuskan melepas salah satu sepatu hak tingginya lalu melemparkan benda itu sampai mengenai kening Barsena.

"Damn it! Ini sakit, Alexa."

"Oya?" Alexandra berujar malas. "Kalau kamu mau aku bisa melemparmu dengan benda yang lebih keras lagi."

"Shit! You're too lucky because I love y—oh, yeah, your body."

Rasanya Alexandra ingin melemparkan kursi ke arah Barsena.

♚♚♚

Baru prolog ya gaesss
Dan ini masih coming soon statusnya
Ehehehehehe

Prolog done
[Sabtu, 15 Juli 2017]

Secret Pleasure ✔Where stories live. Discover now