BAB 21

24.4K 2K 177
                                    

Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi kiri Barsena. Tamparan yang tak hanya terasa sakit di pipinya tapi juga menjalar ke seluruh tubuhnya, terutama hati, karena tamparan tersebut berasal dari tangan seorang pria yang selama ini teramat menyayangi sekaligus percaya padanya. Selama dua puluh delapan tahun masa hidup Barsena, baru sekali ini sang ayah bermain tangan padanya. Barsena teramat tahu sifat Jeremy. Pria itu memang keras dan tegas, namun dia tidak pernah sekalipun menyelesaikan masalah menggunakan cara yang kasar, terutama pada istri dan anaknya.

Dan kali ini, Barsena merasa sangat berdosa karena telah melukai kepercayaan Jeremy padanya.

"Lihat apa hasil perbuatanmu!" Jeremy berseru marah dengan telunjuk mengarah pada sebuah pintu putih dengan tempelan kaca persegi panjang di bagian atas. Satu jam yang lalu, Astina terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena penyakit jantung yang telah dia miliki selama tiga tahun ini kumat. Penyebabnya tak lain karena Astina terlalu shock menerima kenyataan bahwa cucunya tega mempermalukan nama keluarga besarnya.

Barsena menutup mulutnya rapat-rapat. Rasanya begitu enggan untuk membalas tatapan tajam Jeremy yang seakan adalah senjata yang mampu membunuhnya. Rasa sakit itu masih begitu terasa. Bahkan ini lebih sakit daripada saat Alexandra mengacuhkan atau memakinya sekalipun. Barsena merasa dirinya jatuh. Terperosok ke sebuah lembah hitam yang mendekap dirinya dalam rasa penyesalan yang teramat besar.

"Kalau sampai terjadi apa-apa pada Oma, Papa tidak akan segan-segan untuk memberimu lebih dari sekedar tamparan," seru Jeremy lagi. Sebagai putra kesayangan Astina, pria itu terlalu takut kalau-kalau wanita itu pergi tanpa terduga. Jeremy masih sangat membutuhkan Astina.

"Pa, sudahlah," sela Andira Hardjasukmana, mencoba menenangkan emosi suaminya. "Kita sedang berada di rumah sakit dan ini bukan saatnya Papa memarahi Barsena. Yang terpenting saat ini adalah kondisi Mama."

"Papa tahu, Ma. Tapi anak ini sudah benar-benar membuat Papa marah!" Jeremy menunjuk tepat ke wajah Barsena. "Dalam sejarah keluarga Hardjasukmana, tidak ada satupun keturunannya yang pernah berbuat hal sekotor ini. Dan kamu, darah daging Papa, anak kebanggaan Papa, justru jadi orang pertama yang menghancurkan nama besar keluarga ini. Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu? Apa kamu berpikir apa dampak kegilaan yang kamu lakukan bagi keluarga kita?"

"Papa." Andira berujar lagi, kali ini sambil menempelkan telapak tangannya ke salah satu dada Jeremy dan dengan perlahan membawanya mundur beberapa langkah dari Barsena. "Barsena memang salah dan Mama juga tidak habis pikir akan perbuataannya ini, tapi apa bisa kita tidak membahas itu dulu sekarang? Papa mau ikut dirawat di salah satu kamar rumah sakit ini karena terlalu kuat meluapkan emosi?"

"Maafkan aku," ucap Barsena untuk pertama kalinya setelah mereka bertiga keluar dari kamar UGD meninggalkan Astina bersama dokter dan tim kepercayaan keluarga Hardjasukmana. "Aku mengaku salah. Selama ini aku memang menyembunyikan pergaulanku. Di depan keluarga, aku selalu berusaha tampil sempurna, berusaha menjadi apa yang kalian inginkan. Tapi aku juga butuh sesuatu yang bisa aku jadikan sarana hiburan dan pergi ke klub lalu mabuk dan akhirnya terjebak bersama para perempuan penggoda seakan meracuniku, sampai akhirnya aku ketagihan dan terus melakukan kesenangan itu."

"Apa itu artinya selama ini kamu mengkhianati hubunganmu dengan Alexandra?" tanya Andira. Meski dia merasa marah pada Barsena, namun tatapan lembut itu tak pernah hilang saat dia mengunci wajah sang putra dalam dua bola matanya.

Ragu, dan perlahan mencoba mengumpulkan keberanian, Barsena akhirnya mengangguk terpatah.

"Demi Tuhan, Barsena!" Jeremy menggeram. Tangannya membentuk kepalan dan langsung dia tempelkan di keningnya.

"Dan, apa Alexandra sebenarnya tahu akan kebiasaan burukmu itu?"

Untuk kedua kalinya, anggukan itu tercipta dari Barsena.

Secret Pleasure ✔Where stories live. Discover now