BAB 17

24.5K 1.8K 107
                                    

Alexandra menghela napas panjang. Hal kecil itu merupakan reaksi pertama yang dia berikan setelah Ibra menyelesaikan ceritanya mengenai pertemuan tadi dengan Megan. Selepas Ibra selesai mengajar, seperti biasanya, mereka meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol di sebuah kafe.

"Seharusnya Megan nggak bertindak seperti itu," ucap Alexandra. Dia merasa prihatin mendengar kondisi Megan saat ini, namun dia justru lebih kasihan pada si kecil Christofer yang seolah dijauhi oleh ibu kandungnya sendiri. "Mau dunia terbelah menjadi dua sekalipun, Christofer itu tetap darah dagingnya. Dia nggak boleh menjauhi anaknya sendiri hanya karena nggak mau merasa berat saat nanti harus meninggalkan anak itu."

"Dia bilang, nggak mau meninggalkan kenangan yang dapat membuat Christofer sedih nantinya," balas Ibra sembari memainkan pegangan cangkir berisi kopi yang ada di depannya.

Alexandra berdecak. "Itu alasan konyol menurutku. Dengan sekarang dia menjauhi anaknya sendiri, justru itu akan membuat Christofer makin sedih saat nanti Megan pergi meninggalkannya. Bayangkan saja, bagaimana beratnya menjadi Christofer saat nantinya dia sadar, dia nggak punya momen-momen menyenangkan bersama ibunya. Setidaknya, kalau sekarang Megan mau lebih dekat dengan Christofer, anak itu nantinya dapat mempunyai rekaman kenangan yang dapat dia ingat saat Megan sudah pergi. Christofer akan tahu betapa cintanya Megan padanya dan aku yakin, hal itu akan membuat Christofer merasa lega, karena dia merasa keberadaannya dihargai."

"Aku sudah menasehati Megan. Aku minta dia nggak menjauhi Christofer lagi dan dia harus melakukan banyak hal menyenangkan bersama anaknya itu."

"Lalu, apa katanya?"

"Dia cuma tersenyum."

Alexandra mengerutkan keningnya. "Tanpa kata? Sungguh ambigu."

"Kita lihat saja setelah ini, apa Megan akan sering terlihat di sekolah untuk mengantar dan menjemput Christofer atau tidak, karena hal itu merupakan permulaannya."

"Semoga saja dia mau mendengarkan nasehatmu."

Ibra mengangguk, kemudian menegakkan tubuhnya dan mencondongkannya lebih dekat ke hadapan Alexandra. Lelaki berkemeja kotak-kotak biru itu mengambil satu tangan Alexandra, menggenggamnya cukup erat namun tidak berusaha menyakiti.

"Aku ingin berandai-andai—" Ibra memainkan ibu jarinya di atas punggung tangan Alexandra. "—kalau semisal nanti kita menikah, apa kamu mau menerima keberadaan Christofer?"

Kepala Alexandra tersentak karena kaget. Dia kira apa yang akan diucapkan Ibra bukanlah sesuatu seberat itu. Alexandra menatap dalam kedua mata Ibra dan menemukan sebuah keseriusan di sana. Suatu pancaran yang membuat hatinya bergetar. Tatap mata Ibra nampak begitu tulus dan Alexandra tahu betul akan hal itu.

"Apa kamu yakin mau menikahiku?" Alexandra balas bertanya. "Kamu belum mengenalku terlalu jauh, Ibra."

"Kalau begitu, izinkan aku mengenalmu lebih jauh lagi, Alexandra."

"Aku ini perempuan keras, Ibra. Apa kamu sanggup menghadapi sifatku itu?"

"Perempuan keras—sekaligus berprinsip—yang menyukai anak kecil." Ibra tersenyum kecil. "Itu adalah perpaduan yang membuatmu terlihat istimewa di mataku. Aku tahu, jawaban dari pertanyaanku tadi memang nggak mudah, kamu mungkin membutuhkan waktu lama untuk menemukan jawabannya. Tapi, seperti yang pernah aku katakan, aku akan menemanimu. Sampai nantinya kamu benar-benar yakin dan mau menerimaku."

"Akan ada jalan yang panjang sekaligus terjal untuk nantinya kita bisa bersama. Kamu tahu apa statusku sekarang dan untuk lepas dari itu, bukanlah hal yang mudah. Aku harus benar-benar bebas dari jeratan pertunangan itu dulu, Ibra."

Secret Pleasure ✔Where stories live. Discover now