4

2.3K 333 79
                                    

Catatan Penulis: Sedikit aksi akhirnya, hehehe. Ilustrasi nanti kususulkan di bawah. Selamat membaca!

***

[TIGA HARI SEBELUM KEMATIAN.]


KETIKA KAKIKU KEMBALI menjejak tanah dan gemerlap raksasa putih itu sudah hilang dari pandanganku, yang pertama menyambutku adalah kegelapan—matahari sudah tenggelam sejak agak lama, mungkin, karena aku benar-benar nyaris tidak bisa melihat apa pun. Untung langit sudah bersih: sinar bulan membantuku melihat.

Gara-gara itu juga, aku menyadari bahwa di hadapanku adalah pemandangan sebuah gedung raksasa yang hanya tiga lantai, tetapi melebar ke kanan-kiri. Jalan masuknya adalah sepasang set tangga batu yang sangat besar—yang berdiri terpisah sejauh kira-kira tiga puluh meter, mengapit sebuah kolam yang sama besarnya; sebuah separo-lingkaran berdiameter sekitar empat belas meter yang berhubungan dengan dua buah kolam persegi panjang sepanjang delapan meter di tiap sisinya, memastikan dinding dari tangga batu tadi menutup kolam di dalamnya. Airnya sudah tidak tampak beku keras, tetapi aku masih bisa melihat bahwa kolam itu juga belum bisa dibuat bergerak lagi dalam waktu dekat, bahkan jika listriknya sedang menyala.

Tiga buah patung menghiasi kolam itu, di dinding jauhnya; masing-masing patung ternaungi oleh satu arch, gerbang lengkung—sepasang patung wanita yang menunggang kuda di masing-masing arch kanan dan kiri; dan sebuah patung besar berbentuk sepasang pemuda meniup kerang besar, mengapit sebuah batu besar yang diduduki seorang pria tua berotot, di arch tengah. Aku berani taruhan masing-masing patung setidaknya tingginya tiga meter.

Oh, dan ada seekor ular juga di patung tengah, mengangkat lehernya di depan batu tempat si Pak Tua Berotot duduk.

"Neptunus," ujar Putra sambil bergerak ke arah set tangga batu terdekat di sebelah kanan. "Ketiga patung ini satu set, namanya The Court of Neptune. Buatan Roland Hinton Perry. Dipasang di sini tahun 1898. Dia menyelesaikan patung ini waktu masih berusia 27, lho."

"Dan kamu kebetulan tahu fakta random itu begitu saja?"

Putra tidak menghiraukanku sama sekali dan bergerak terus naik tangga. "Kira-kira bagaimana kita mau mencari Markandeya?"

"Embuh. Panggil namanya?"

"Kalau kaulupa, Library of Congress itu perpus terbesar di dunia."

"Kalau kamu lupa, Library of Congress itu perpus. Bisa seberisik apa, sih?"

"Library of Congress itu tiga lantai."

"Ya teriak di tiap lantai."

"Ada ruang pertemuannya, kedap suara."

"Ya masuk sana, baru teriak."

Putra berhenti sebentar dan menatapku ganjil. "Kau memang sepraktis ini, ya?"

Aku menatapnya balik. "Kalau bisa gampang, 'ngapain susah?"

Putra memutar bola mata. "Sebaiknya kaupunya rencana cadangan."

Rencana cadangan. Astaga, aku jadi baru terpikir. "Anu ...," aku menarik lengan jaket Putra sedikit. "Bagaimana ... bagaimana kalau dia enggak di sini?"

"Markandeya?"

Aku tergoda menjawab siapa lagi?, 'tapi aku menahan diri. "Ya. Markandeya."

Putra diam sebentar. "Kita pakai buku-buku di sini untuk riset soal para Nirmair. Siapa tahu ada yang bisa kita cari-cari. Toh, kita berdua punya Sapu Angin, 'kan? Ke mana saja para Nirmair itu pergi, kita bisa menggapainya."

Ragnarökr Cycle: Dark RaidersWhere stories live. Discover now