17

1.3K 218 114
                                    

Catatan Penulis: KALIAN HARUS TAHU AKU SETENGAH MATI BERUSAHA MENYELESAIKAN BAB INI HAHAHAHAHAHAHAHA AKU BANGGA BISA SAMPAI SINI WALAUPUN MEMANG LAMA BANGET. AKU KANGEN KALIAN HEHEHEHEHEHEHEHEHEHE MAAF SURPRISE UPDATE HARI SENIN PAdahal aku aslinya rencana update hari Sabtu kemarin. Yha, hal ini dan itu terjadi, aku terlambat sampai Malang dengan badan remuk semua dan jam tidur berantakan, dan urusan administrasi wisudaku enggak selesai-selesai karena KTM-ku hilang sejak semester 5 lalu dan sekarang buku tabunganku dari kampus juga enggak ketemu sehingga aku tidak tahu bagaimana harus membuat surat kehilangan ke kantor polisi karena aku enggak hafal rekening yang diberikan kampus kepadaku berhubung aku enggak pernah pakai KTM mereka sebagai ATM seperti seharusnya dan aku tidak tahu harus bagaimana dan masih ada lagi urusan kartu keterangan penghuni punya Rin untuk apartemennya yang menyelip pergi saat kami bepergian ke Bali-Bandung-Jakarta berturut-turut kemarin dan entah bagaimana nanti mengurusnya ke kantor polisi dan--

Selamat membaca?

***

[DUA TAHUN SEBELUM KEMATIAN.]


PUTRA MUNGKIN SAJA kasar, sembarangan, dan serampangan bukan main. Menyebalkannya tiada duanya di muka Bumi. Rambutnya bau dan berantakan, seakan mandi bukan kebutuhan baginya. Cengiranya minta dicium dengan bogem mentah. Namun, yang tidak bisa kupungkiri, seberapa kriminalnya pun anak ini, dia tetap anak baik.

Dia tidak banyak bertanya seraya menyerahkan jaketnya kepadaku yang sedang sesenggukan dan dipandangi pengunjung Parangtritis lainnya seakan aku habis kerasukan. "Supaya ada yang bisa dicengkeram," katanya, "dan supaya hangat."

Aku bahkan tidak tahu kenapa aku bakal butuh menghangatkan diri berhubung saat itu masih siang dan langit masih terang, tetapi aku tidak menolak. Mungkin untuk melawan angin agar aku tidak masuk angin? Entahlah. Anak ini cuma mau membantu. Aku sedang tidak bisa berpikir. Aku tidak melihat alasan untuk menolaknya, kecuali mungkin untuk satu fakta besar bahwa aku belum kenal dia sama sekali.

Kami terdiam, duduk menatap garis pantai tanpa bersuara, entah selama berapa lama. Aku cukup yakin aku tidak melebih-lebihkan jika aku bilang kami seperti itu sampai berjam-jam, karena sementara pengunjung pantai silih berganti, meramai dan kemudian menjadi sepi, sementara tawa anak-anak kampung pesisir mulai terkikik menyambut azan yang sayup-sayup mulai berkumandang entah dari mana saja, kami masih belum saling berbicara. Napasku mulai membaik. Aku masih cuma menatap laut.

"Aku pembunuh," gumamku.

"Oh," kata cowok itu tanpa melihat ke arahku.

"Kau tidak takut?"

"Buat apa?"

"Aku bisa saja membunuhmu."

"Kalau aku tidak membunuhmu duluan."

Aku merinding sedikit. Aku baru mulai menyadari situasiku di sini: ada orang asing yang sedang duduk di sebelahku, dan tampangnya menunjukkan jelas kalau dia mampu bertahan hidup sendirian di jalanan. Selama bertahun-tahun.

Astaga, kenapa dari tadi aku tidak berusaha menjauh darinya?

Kenapa dia bahkan mengajakku bicara dari awal?

"Kaupernah membunuh?" tanyaku.

"Pernah," akunya dengan santai.

"Dih, psikopat."

Di luar dugaanku, cowok itu malah terkekeh kecil pada celetukanku. "Ngaco, kebanyakan psikopat bukan pembunuh."

"Itu di film-film tuh."

Ragnarökr Cycle: Dark RaidersWhere stories live. Discover now