16

1.7K 256 66
                                    

Catatan Penulis: Monmap telat satu setengah jam. Aku juga masih ada acara setelah ini HAHA. Rin sedang mengisi Passion Pitch di talkshow oleh NaoBun Project di Kekini, lho. Ada yang mau kemari ikut nonton dan mungkin ikut 'ngobrol?

Nanti aku coba balas-balas komentar lewat ponsel kalau sempat, deh.

Ini bab penting, omong-omong. Jadi, yah, selamat membaca.

***

[DUA TAHUN SEBELUM KEMATIAN.]


BUKANNYA INGIN TERDENGAR melankolis, tetapi hidupku semenjak itu praktis hancur berkeping-keping. Semuanya dimulai dengan ketika aku tidak sengaja bertemu dengan Oom Indra keesokan harinya.

Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tetapi yang lebih parah adalah ketika aku sadar apa yang sedang kulihat: tatapan Oom Indra mati.

Aku belum pernah melihat tatapan orang semati itu.

Aku tidak melihat kilau warna apa pun, setitik ekspresi apa pun. Oom Indra terduduk lesu di meja, bersandar tanpa sadar ke kursinya, tenggelam dalam tempat duduknya, mematung seakan tubuhnya tidak memiliki lagi cukup energi untuk membuat jantungnya sendiri berdegup.

Aku sudah membuka mulut untuk memanggilnya, tetapi lalu berhenti. Leherku tersekat. Aku tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun.

Aku terpaku, tercengang, sementara Oom Indra akhirnya melihat ke arahku.

Ekspresinya masih tidak berubah.

Jantungku mencelus. Dadaku terasa berat, mataku terasa basah, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Apa aku baru saja membunuh Oom Indra?

Keadaan ini sama sekali tidak berubah bahkan setelah silent treatment Ibu mulai melunak selama sehari itu. Ayah masih belum menyerah, tentu, tetapi terkadang Ibu terlupa selama sepersekian detik kalau aku seharusnya noneksisten, dan ini biasanya baru terjadi saat 1) Ibu mulai merasa baikan mengenai aku, atau 2) Ibu mulai lelah.

Melihat mata Oom Indra yang mati, kurasa yang terjadi adalah kemungkinan kedua.

Aku masih tidak yakin apa persisnya yang membuat Oom Indra sampai sebegitunya. Dia cuma sempat menyebutkan bahwa dia gagal, lalu mengatakan Haiti. Aku cuma tahu bahwa Haiti ada di Karibia dan terletak di pulau yang sama dengan Republik Dominika. Aku tidak tahu apa hubungannya dengan tugasnya ke Perancis, dan aku juga tidak tahu bagaimana semuanya berhubungan dengan kalungnya.

Stop.

Aku harus terus-terusan mengingatkan diriku bahwa semakin aku memikirkan soal kalung itu, aku cuma akan membuat perasaanku tambah parah. Aku ingat kata-kata Ayah: "Oke, masalahnya terjadi. Lalu sekarang apa?"

Aku tidak ingat sejak kapan persisnya Ayah membuatku jadi seorang pragmatis, atau setidaknya berusaha demikian. Aku harus akui bahwa efisiensi Ayah dalam menyusun dan melaksanakan rencana bisa jadi ... yah, mengerikan. Fokusnya sepenuhnya hanya pada masalah apa yang melandanya, lalu dibandingkan dengan sumber daya yang ada. Dia tidak punya waktu memikirkan hal lain ketika sedang ada masalah yang melanda.

Oke, masalahnya terjadi. Lalu sekarang apa?

Karena ini jugalah biasanya permintaan maafku cuma masuk ke dalam telinga yang tuli setiap kuucapkan padanya setelah aku melakukan suatu kesalahan. Yang dia minta bukan permintaan maafku, tetapi pertanggungjawabanku. Oke, kesalahanku terjadi. Lalu sekarang apa?

Ragnarökr Cycle: Dark RaidersWhere stories live. Discover now