14

1.8K 265 32
                                    

[DUA TAHUN SEBELUM KEMATIAN.]


AKU BENAR-BENAR tidak pulang malam itu.

Aku menghabiskan sisa hariku sendirian di pantai Parangtritis, sementara Pak Sur kembali pergi bekerja.

"Nanti Dik Ayu telepon Pak Sur lagi, ya, kalau perlu tumpangan pulang!" katanya ramah. "Takut, Dik, kalau malam. Nanti kenapa-kenapa, lho."

Aku cuma tersenyum kecil kepadanya sambil berterima kasih.

Aku tidak bercanda waktu aku bilang aku tidak berniat pulang malam ini, dan aku benar-benar melakukannya. Pantai ini, ajaibnya, masih tetap ada saja pengunjungnya bahkan di tengah hari kerja begini. Awal semester, pula. Tidak seramai saat libur, tentu, tetapi aku melihat beberapa orang berjalan ke sana kemari, bermain pasir, dan lain sebagainya dengan pakaian santai. Aku sendiri tidak habis pikir siapa yang masih punya waktu di hari kerja untuk berlibur ke sini, tetapi aku agak bersyukur.

Aku benci berinteraksi dengan banyak orang, tetapi mereka menyamarkanku. Adanya mereka membuatku di sini tidak tampak aneh dan mencolok, dan persis itu yang kubutuhkan. Aku perlu menghilang. Aku perlu tidak ditemukan.

Karena itu juga, walaupun angin laut sudah menyapaku, walaupun aku sudah bisa merasakan asinnya di lidahku, mencium segar garamnya di hidungku, aku menahan diri sekuat tenaga agar tidak berlari sebebasku menyambut laut. Aku tahu aku bisa-bisa saja bermain air sekarang kalau mau; toh, aku akan di sini sampai malam. Namun, aku sudah bertujuan menghilang. Aku cuma di sini karena ... tempat ini cukup jauh dan cukup luas.

Pertama, akan sulit menebak bahwa aku pergi ke sini, apalagi dengan keadaan aku tidak pernah bolos sekolah sebelum ini. Ini sudah lumayan siang, dan dalam sekitar dua jam, ibuku akan pulang. Mungkin dia akan pulang agak telat karena dia tidak perlu menjemputku dulu hari ini, jadi dia punya lebih banyak waktu kerja. Atau mungkin dia tetap pulang cepat karena Oom Indra akan berangkat ke Perancis sekitar jam delapan malam nanti.

Aku menghela napas, membiarkan angin laut kembali berembus semilir melalui rambutku. Helai-helainya terangkat lembut, seperti enggan mematuhi hukum fisika yang memaksanya bergerak. Ayu baru saja benar-benar memutuskan untuk mencuri.

'Tapi kamu bakal kembalikan, 'kan?

Tentu. Aku sudah janji.

Aku menghela napas lagi. Paru-paruku terasa lebih berat. Sialan, siapa lagi yang punya hobi memelintir kata-kata jika bukan sang Iblis sendiri?

Aku memejamkan mata, kali ini membiarkan ketakutan yang kutahan terus sedari tadi menelanku. Pertama, akan sulit menebak bahwa aku pergi ke sini, apalagi dengan keadaan aku belum pernah bolos sekolah sebelum ini. Kedua, tempat ini sangat luas. Aku bisa bersembunyi di mana saja, bergerak ke mana saja, dan bisa tetap tersembunyi sampai ... yah, cukup lama agar yang mencariku pergi duluan dari tempat ini. Itu juga dengan asumsi mereka tahu aku di sini.

Mereka. 'Mereka'. Sejak kapan aku mulai menganggap keluargaku sendiri sebagai 'mereka'?

Sejujurnya aku sendiri masih tidak tahu akan tidur di mana—aku cuma tahu aku akan tidur di Parangtritis nanti setelah gelap menjelang, jika aku bahkan merasa mengantuk. Mungkin aku akan bersembunyi entah di mana dan tidur di sana. Besok pagi, aku bisa tinggal menyalakan ponselku lagi dan menghubungi Pak Sur. Aku tahu dia akan membantuku.

Pak Suryanto—serius, namanya cuma Suryanto, tanpa nama depan atau belakang sama sekali, khas orang-orang dari generasi lalu—sebenarnya tidak memulai karir masa senjanya sebagai supir taksi. Beliau sangat suka makan kerupuk dan memasak kerupuk. Berbagai macam kerupuk, dari berbagai daerah di Indonesia yang mengembangkan budaya kuliner variasi kerupuk. Kerupuk emping, kerupuk udang, kerupuk bawang, rempeyek, semuanya dia satroni satu-satu. Kesukaannya adalah kerupuk rambak, atau kerupuk kulit sapi. Biasanya dibuatnya dari kulit sapi yang dikeringkan, dipotong tipis-tipis, lalu dimasak hingga mengembang menjadi keripik kosong yang diberi bumbu garam dan penguat rasa.

Ragnarökr Cycle: Dark RaidersWhere stories live. Discover now