8

1.7K 288 39
                                    

[DUA HARI SEBELUM KEMATIAN.]


PUTRA MEMUTUSKAN UNTUK tidak ikut begitu kami keluar dari gua terselubung kedua Leluhur Trimurti itu.

"Aku perlu bertemu ayahku," katanya. "Terutama karena sekarang kita tahu kita tidak bisa bertemu dengan Khidir. Pasti ada alternatif lain. Ayahku pasti tahu sesuatu." Dia terdiam sejenak. "Aku minta maaf padamu. Aku seharusnya menanyakan ini padanya sejak setahun lalu."

Ekspresinya benar-benar menyesal. Kalau di bahasa Jawa, ada istilah khusus untuk menggambarkan semacam rasa menyesal yang sangat spesifik, seperti rasa sesal untuk suatu kesempatan yang terlewat, seperti rasa kecewa karena suatu kekalahan, seperti rasa menyesal melakukan suatu kesalahan tetapi tidak tahu harus minta maaf pada siapa; seperti rasa sedih atau kecewa yang bercampur-aduk membuat dada jadi penat dan leher serasa tersumpal bola. Namanya ghela, dengan e seperti bunyi e dalam 'wafer' dan –a dibaca dengan bunyi antara a dan o yang khas di bahasa Jawa.

Putra tampak benar-benar ghela. "Tidak apa-apa," kataku pelan sambil menepuk lengannya yang terlapisi dua jaket dan sehelai kaus. "Bukan salahmu. Kamu panik waktu itu."

Putra menghela napas panjang. "Batara Vishnu," panggilnya. Leluhur itu menengok dari punggung Garuda.

"Ya?"

"Lewat mana jalan ke Naraka?"

Vishnu tersenyum, seperti langsung tahu Putra mau apa. "Lewat padang hyperspace yang sama dengan tempat kalian tiba tadi," katanya. "Pilih bukit yang paling kiri, dan sebutkan saja Naraka. Kata kunci jembatan-jembatan kami adalah tujuannya, dan jika tujuan yang terdaftar di alat itu sesuai dengan yang kalian sebutkan, dia akan segera aktif membawa penggunanya ke sana."

"Apa perjalanan saya akan dicatat oleh ... Indra?"

"Secara teknis, perjalanan kalian ke sini sudah tercatat, jadi perjalanan kalian pergi juga harus tercatat," kata Brahma, yang memutuskan tidak ikut mengantarkan kami ke istana Indra karena lebih memilih membaca buku di tangannya. Aku sempat melihat tulisan hilang dan muncul dari buku itu, dan jadi terpikir apabila lembar-lembar kertas buku itu sebenarnya adalah layar elektronik. "Namun, sepertinya aku bisa mengakali agar perjalananmu pergi tidak segera masuk rekaman. Bukuku bisa melakukan banyak hal di sini."

Yup. Buku itu ternyata memang alat. Sip. Putra mengangguk. "Baik. Saya permisi dulu."

Begitu saja, Putra segera memeluk shyena-nya, seperti meminta burung besar itu untuk berangkat. Dia menanggapi, mengaok sebentar, lalu segera berlari lepas landas.

"Berarti hanya aku dan Markandeya saja, ya?" gumamku.

Di luar dugaanku, Vishnu mendengar itu. "Tidak," katanya. "Markandeya tetap tinggal di sini."

Tentu saja, aku terperangah. "Maaf?"

"Markandeya tidak ikut," ulang Vishnu. "Brahma akan menjaganya."

"Kenapa?" tanyaku sebelum bisa kutahan.

"Para Nirmair tengah diburu, ingat?" jawab Vishnu. "Aku juga cukup yakin Markandeya ke sini untuk mencari tahu siapa dalangnya. Benar, 'kan?"

Markandeya mengangguk pelan. Vishnu mengedikkan kepalanya padaku.

"Kalau ada apa-apa, dia pasti keluar," kata Vishnu. "Namun, untuk sementara ini, akan jauh lebih baik apabila Markandeya kita lindungi dulu."

Aku terdiam. Benar juga. Markandeya sudah menduga bahwa Leluhur Mahameru adalah pelaku di balik dikirimnya para makara untuk membunuhnya, dan rumor yang diceritakan Vishnu tadi semakin memperkuat dugaan itu—bahwa memang ada seseorang di sini yang secara sengaja berusaha menghabisi para Nirmair. Apabila ternyata pelaku itu adalah seseorang dari Istana Indra, Markandeya bisa kena masalah sendiri jika ikut denganku.

Ragnarökr Cycle: Dark RaidersWhere stories live. Discover now