5

2.1K 308 18
                                    

Catatan Penulis: Oke, aku telat seminggu, dan aku akan menjelaskan kenapa.

Jadi, ceritanya, tanggal 22 September kemarin, DyanasthasiaRin ulang tahun. Yay!

Nah, aku sibuk sekali menyiapkan kado untuknya, dan berhubung aku sangat kekurangan tidur, Rin meminta aku istirahat dulu selama seminggu untuk mengganti jam-jamku kurang tidur. Iya, kadonya kubuat sendiri dengan tangan, soalnya aku tidak tahu apa yang bisa kubelikan untuknya HAHAHAH #AlfiAnakKosMiskin

Anyway, sebagai gantinya, aku akan publikasi langsung dua bab hari ini, jadi setelah ini aku akan langsung mengunggah Bab 6. Oh, dan iya, bab yang ini isinya diskusi dan dongeng. Bab 6 nanti juga masih diskusi, tetapi lebih soal sejarah Ayu. Ah, dan ada hint juga untuk Buku 4 nanti di Bab 6! Aku tidak mau spoil banyak-banyak dulu, hehe.

Oh, dan belum ada ilustrasi dulu, soalnya Rin sedang banyak tugas hehehe. (Edisi nemenin keluar malam cari folio.)

Jadi, tanpa berlama-lama lagi, mohon maaf keterlambatannya ... dan selamat membaca!

***

[TIGA HARI SEBELUM KEMATIAN.]


CUMA PERLU PERBINCANGAN yang sangat singkat sebelum Markandeya tahu bahwa aku dan Putra datang dari Indonesia, dan ternyata dia bisa bahasa Indonesia. Yah, bukan bahasa Indonesia modern, sih. Aku menangkap beberapa ekspresi baku yang terasa agak kuno, dengan aksen yang kental pula, seakan terakhir kali dia ke Indonesia, tempat itu masih dijajah Belanda. Kami akhirnya sepakat untuk bicara dengan bahasa Inggris, karena—untungnya—kami bertiga semua sama lancarnya.

T'rims, Hollywood.

"Apa yang barusan tadi senjatamu?" tanya Putra. Markandeya mengangguk.

"Anak Panah Barbarika. Kebetulan, senjata ini aslinya punya Shiva, dan aku punya Restunya."

Putra tampak langsung mengerti, tetapi tentu saja, aku mengangkat alis. Putra mengangkat bahu.

"Tiga anak panah Barbarika," katanya. "Barbarika adalah putra Gathotkacha dan cucu dari Bima."

Keping puzzle kecil segera klik di kepalaku. "Yang berpihak dengan Kurawa dan mengamuk di Perang Mahabharata?"

Putra dan Markandeya sama-sama memberiku tatapan aneh. Aku menatap mereka balik.

"Apa?"

"Di versi wayang, sih, begitu," jawab Putra pelan. "Di wayang dan cerita asli, Barbarika membuat sumpah hanya akan berpihak pada yang lebih lemah dalam Mahabharata. Namun, kesamaannya berhenti di sana."

"Jadi Barbarika tidak berpihak pada Kurawa?"

"Dia tidak sempat memihak. Krishna praktis membunuhnya sebelum Perang Mahabharata bahkan dimulai."

Aku melongo. "Lho, terus siapa yang mengamuk hingga mengalahkan Pandawa Lima sebelum—ah."

Aku baru teringat juga. Di kisah wayang, Kresna membunuh Barbarika dengan Cakra Sudharsana setelah pahlawan-pahlawan terhebat Pandawa dikalahkan.

Putra mengangkat bahu lagi. "Ya begitulah pokoknya. Waktu itu, sebelum Perang Mahabharata dimulai, Krishna bertanya pada setiap pahlawan dari pihak Pandava dan Kaurava mengenai kekuatan mereka. Tolok ukurnya, jumlah hari yang mereka butuhkan untuk memenangkan perang itu sendirian. Arjuna butuh 28 hari. Karna butuh 24. Lalu, Krishna pergi dan menemui Barbarika."

Hmm. Putra berbakat mendongeng. Aku tidak pernah mau menyelanya saat dia sedang bercerita. "Lalu?"

Putra melirik Markandeya, yang tampak sangat tenang, seakan dia sendiri menyaksikan apa yang terjadi waktu itu. "Krishna menanyakan Barbarika pertanyaan yang sama. Berapa lama yang dibutuhkan Barbarika untuk menyelesaikan Perang Mahabharata sendiri. Barbarika bilang dia cuma butuh satu menit."

Ragnarökr Cycle: Dark RaidersWhere stories live. Discover now