6

2K 311 20
                                    

[DUA HARI SEBELUM KEMATIAN.]

AKU MENDARAT DI tanah yang terasa familier. Lebih berat dari Bumi, jelas, tetapi familier. Aku sudah pernah ke sini sebelumnya.

Atau, setidaknya, ke wilayah yang sama di planet yang sama, soalnya navigasiku sangat parah. Aku cuma bisa merasakan kalau aku sedang di tempat yang berbeda dari yang biasa kukunjungi, tetapi aku tidak pernah bisa tahu kenapa atau sedang di mana. Atau bahkan dari mana. Yah, begitulah.

Di belakangku, Putra menggerutu sendiri seakan sudah tidak bisa menahannya dalam hati lagi. Markandeya cuma tersenyum simpul, dan aku baru sadar bahwa arahnya bukan padaku-tetapi pada seseorang yang menunggu di depanku.

Tentu saja, Semar sudah menanti di sana.

"Halo," sambutnya sambil tersenyum ramah. "Ada apa?"

"Kami perlu ke Mahameru, Yang Mulia," jawabku. "Um ... bertemu Batara Brahma. Atau Batara Wisnu. Atau Batara Indra. Yang mana saja, asalkan memungkinkan."

"Oh, semua bisa, kok. Biar kuuruskan," jawab Semar tanpa basa-basi. "Kalian tunggu 'aja di Pendopo sana."

Tumben. "Terima kasih banyak, Yang Mulia," jawabku sementara Semar berbalik dan pergi.

Aku bisa mendengar Putra menggumamkan terima kasih yang sangat pelan, diikuti oleh Markandeya. Saat itulah aku baru sadar kami di mana.

Tempat kami berdiri tampak seperti sebuah pelataran pendaratan helikopter, karena bentuknya adalah pijakan lingkaran. Dari pijakan ini, di arah Semar datang dan pergi, ada sebuah jalur lurus yang terhubung lewat beberapa kelokan ke sebuah gedung agak jauh di sana, sekitar seratus meter dari tempatku berdiri. Mengambang di atasku, dengan dengung yang semakin lembut hingga hilang, tampak sebuah mesin logam yang elegan dengan sebuah lingkaran sebagai antarmuka utamanya, lengkap dengan garis celah di tengahnya yang membuat lingkaran itu tampak seperti bisa dibuka, mirip tudung sayap kepik.

Gara-gara menebar pandangan inilah aku baru sadar bahwa pijakan kami berada di tengah sebuah danau.

Semar menunjuk ke sebuah pendopo, seperti sebuah gedung terbuka yang hanya berpilar dan berisi panggung beralas untuk duduk, yang terletak hanya sekitar sepuluh meter dari tempat kami berdiri. Rutenya berseberangan dengan arah Semar bergerak-gedung tadi-tetapi pendopo kecil itu benar-benar tampak nyaman.

Gabungkan itu dengan pemandangan langit yang sangat jernih hingga gemintang bertaburan bebas di atas sana, lengkap dengan latar awan nebula yang berwarna ungu cerah dengan sentuhan kebiruan, dan aku tidak berlama-lama lagi. Aku segera ke pendopo itu dan duduk. Putra dan Markandeya, tentu, memilih mengikuti.

Aku biasanya tidak terlalu suka danau. Rasanya, air dan udara di danau-bahkan danau besar-berbeda dengan air laut. Tidak ada bau asin segar, tidak ada kesan pasir yang menanti untuk bermain. Tidak ada misteri raksasa sama sekali, apalagi di danau-danau yang dangkal. Ugh. Sudah baunya amis, airnya kehijauan, ikan-ikannya membosankan ... bahkan sungai yang baunya sama saja masih jauh lebih menarik daripada danau. Bahkan waduk, yang secara teknis tetap sebuah danau, masih lebih menarik daripada danau biasa. Setidaknya, di waduk banyak orang bekerja dan aku bisa menonton tambak-tambak ikan di pinggirannya.

Namun, aku benar-benar tidak bisa melihat tanah lagi selain tempat kami berpijak. Gedung yang Semar tuju itu bentuknya mirip istana di Keraton, dengan dinding kokoh bermotif spiral-spiral tradisional dan atap yang tampak seperti bertanduk, tetapi ukurannya sangat besar. Aku tidak bisa melihat ada apa di balik gedung itu sama sekali, tetapi jika menilai dari sekelilingnya, aku cuma bisa melihat lebih banyak hamparan air lagi.

Itu, dan air di sini sangat jernih. Aku bisa melihat bebatuan di dasarnya, dan di saat bersamaan, karena tidak ada gangguan sama sekali, permukaannya yang rata seperti kaca memantulkan langit malam yang bersih di atas sana dengan sempurna. Aku serasa berjalan di atas sebuah jembatan yang menahanku dari tenggelam ke dalam bintang-bintang.

Ragnarökr Cycle: Dark RaidersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang