12

1.5K 237 34
                                    

Catatan Penulis: Pokoknya, anggap saja jadi rutinitas--kalau aku tidak pos bab baru di hari Sabtu, berarti mungkin kuundur Minggu. Kalau masih belum terbit juga di hari Minggu, berarti kutendang ke Sabtu berikutnya. Hehehe.

Aku baru sadar bahwa kesulitan utamaku di Part ini adalah beralihnya fokus kepenulisanku soal Ayu dibandingkan Part 1 kemarin. Mungkin ada yang merasa. Mungkin ada yang tidak.

Anyway, akhirnya aku mulai magang, jadi sepertinya jadwal kepenulisanku bakal lebih terbatas. Namun masih akan lebih terbatas lagi nanti ketika aku mulai masuk ke masa revisi laporan dan ujian, belum lagi penyusunan proposal skripsi, jadi bersiaplah dengan terhentak-hentaknya penyusunan Part 3 nanti, hehe.

Selamat membaca!

***

[DUA TAHUN SEBELUM KEMATIAN.]


AKU KESULITAN LUAR biasa ketika sadar bahwa aku punya kurang dari dua puluh empat jam untuk menyingkirkan kalung sialan itu dari leher Oom Indra, apalagi setelah sadar bahwa aku tertidur selama lima jam gara-gara marah.

Emosiku yang sudah sempat memudar karena tidur tanpa mimpi segera kembali, bergejolak lagi keluar kendali, seakan-akan gelap yang kusaksikan saat aku tidak sadar itu tidak pernah terjadi. Aku akhirnya memeluk bantalku. Entah sejak kapan. Mungkin aku benar-benar harus mengurus gulingku nanti.

Aku bahkan tidak segera sadar waktu dan selama sesaat, begitu mataku perlahan terbuka—dengan terasa sangat berkerak, terima kasih—aku terlonjak bangun hingga mataku berkunang-kunang, nyaris yakin seratus persen bahwa aku harus segera menyiapkan seragam, mandi, dan memasukkan buku-buku pelajaran baru yang masih mengendap dengan rapi di meja belajar sana. Lemari pakaianku terletak persis di sebelah pintu kamar mandi, sehingga seragam tidak mungkin jadi masalah. Yang jadi masalah adalah buku-bukuku: karena seringnya mata pelajaran diulang di hari-hari berbeda, dengan pola yang berbeda pula, aku tidak bisa membuat satu tumpukan khusus yang memastikan aku tidak perlu repot mengatur posisi buku-bukuku di rak itu lagi.

Meja belajarku punya empat rak terpisah: satu di sebelah kiri yang sangat tinggi dan lebar, mungkin bisa memuat tumpukan setidaknya lima belas buku pelajaran; satu di atas dengan ukuran selebar meja belajar itu sendiri, yang biasanya kujadikan tempat meletakkan alat-alat tulis cadangan; satu di kanan, yang sebenarnya adalah satu set tiga rak kecil berisi drawer yang kuisi dengan kartu-kartu hafalan, dan satu buah laci di bawah rak pertama tadi, yang kututupi dengan kayu triplek untuk menyembunyikan suplai introverku.

Begitu aku sudah duduk, barulah aku bisa berpikir lebih jernih dulu. Oom Indra akan berangkat nanti malam. Kalau aku benar tertidur sampai pagi, mustinya ini hari Senin. Jam berapa ini? Aku meraih ponselku, menekan tombol menu dan asterisk, dan menatap jam di pojok atas, di sebelah bar sinyal—sekarang baru jam sebelas malam lewat sekian menit. Belum Senin. Yang artinya aku kelewatan makan malam. Itu menjelaskan perutku yang agak nyeri.

Ayahku punya bakat mag. Jika jadwal makanku sampai berantakan, atau jika aku belum makan di jam-jam tertentu, asam lambungku sangat cepat naiknya, dan tidak perlu waktu lama hingga perutku rasanya panas dan sakit seakan dalamnya adalah ruang kosong dengan tekanan tinggi. Perutku serasa ditarik ke dalam, dan di saat-saat yang sangat parah, aku bisa muntah-muntah sendiri sambil kesulitan berdiri. Aku ingat pernah makan malam dengan menu superpedas (aku suka cabai walaupun punya mag. Bodoh? Aku tahu), padahal aku belum makan dari pagi. Hasilnya? Aku tertatih-tatih sendiri berjalan kaki, dengan muka merah dan mata berkunang-kunang, entah merasa mual atau ingin jatuh runtuh seakan struktur yang membuatku bisa berdiri tegak sudah hancur berkeping-keping. Setelah berhasil membeli jajanan roti dan menanti setengah jam, barulah rasanya lebih enak. Masih nyeri, masih sakit, tetapi setidaknya aku sudah bisa berjalan.

Ragnarökr Cycle: Dark RaidersWhere stories live. Discover now