"Kentang goreng"

7.1K 264 0
                                    

Berjalan di sampingmu, entah kenapa aku merasa aman. Padahal kau sedang tidak menjagaku.

☕☕☕

Jhuna menghempaskan handphone miliknya ke atas ranjang Rahmat. Diamatinya bungkusn kentang goreng yang sebentar lagi akan diantarnya ke rumah Natalie. Wajahnya tampak tidak tenang, membuat Dika heran.

Dika mendekat ke arah Jhuna sedang rahmat sibuk dengan gawai miliknya. Sebenarnya Dika bisa saja tidak bertanya, tapi dia tahu kalau ini ada urusannya dengan Natalie. Kalau ada urusannya dengan Natalie, berarti ada urusannya dengan enam ratus ribu yang akan dia miliki.

"Kenapa Jhuna?" tanyanya. Dia duduk di tepi ranjang Rahmat yang berasal putih.

"Natalie sama Revin nanyain soal pembeli buket bunga ke Shalsa." jawab Jhuna lesu.

Rahmat dan Dika terbelalak. Hampir saja jantung mereka keluar dari kerongkongan karena mendengar perkataan Jhuna yang tidak main-main. Ini masalah serius bagi Dika juga Jhuna. Gawat kalau Revin tahu.

"Tapi gue ga takut ketahuan!" Jhuna berdiri. Dia mengangkat tangannya ke atas menandakan kalau dia tidak apa-apa.

Dika memutar bola matanya kesal sedangkan Rahmat tertawa kuat melihat Jhuna. Lelaki itu kembali terduduk dan meregangkan otot lehernya yang kaku. Lalu kembali berdiri dan duduk di satu kursi besi yang dejt dengan pintu keluar kamar.

"Ayo Dik, kita jalanin misi kita."

Dika mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah meja belajar Rahmat yang baru saja dipakai untuk menulis surat cinta kepada Natalie. Sebenarnya kasih Revin kalau terus begini. Tapi ini demi Jhuna juga. Dika tahu kalau Jhuna sangat menyayangi Icha.

Sembari melipat kertas berlatar hijau toska itu, Dika menghela napas berat. Lalu memasukkan surat itu ke amplop mungil dan unik, berwarna sama dengan suratnya.

"Lo yakin ga bakal ketahuan?" tanya Dika.

Temannya itu menggeleng mantap.
Sejurus kemudian, dia melenggang ke arah Jhuna dan memakai sepatu kets hitamnya. Mereka berjalan lalu melambaikan tangan pada Rahmat.

Lorong yang menghubungkan kamar dengan ruang luas berisi sofa-sofa tampak keren. Lampu remang menambah suasana elegan yang dimiliki orang-orang kelas atas. Pintu dengan kode kunci, lift, serta pelayanan yang luar biasa.

Mereka sampai di luar apartemen Rahmat, lalu menaiki motor Jhuna yang terparkir manis di garis paling ujung. Warnanya yang pekat memang cocok untuk Jhuna.

Keduanya meniki motor itu, dan segera mereka melaju kencang di jalanan kota yang masih ramai tak berujung. Lampu-lampu jalanan menerangi perjalanan, beberapa mobil beradu klakson, serta orang-orang yang asik menikmati hidupnya dengan makan di pinggir jalan.

Setibanya di sebuah kompleks, Jhuna berhenti sejenak. Memastikan kalau tidak ada Revin, Ridan, atau Natalie di sana. Kembali dia menyalakan motornya, lalu melaju ke rumah nomor tujuh.

Gerbang hitam menjulang tinggi menyapa mereka. Saat Jhuna membunyikan klakson, seorang lelaki berpakaian putih membuka pintu. Namun, bukan hanya dia ada di sana. Seorang wanita berambut hitam dan memakai dress hitam selutut memandang mereka. Dia baru turun dari mobil.

"Iya nak? Ada apa?" tanyanya.

"Ini tante, anu." Jhuna terbata. "Natalie ada?"

Dika menepis tangan Jhuna. Mengapa tidak? Jhuna baru saja menanyakan Natalie. Itu gawat.

"Oh, gatau nih soalnya tante baru nyampe dari luar kota." jawab wanita itu.

Dika mendengus lega. Untung saja dia tidak memanggil Natalie.

Mr. Ice (END)Where stories live. Discover now