"Gagal melupakan"

7.2K 244 0
                                    

"Dia es! Dingin! Tapi hatinya matahari. Bikin lo meleleh!"

***

Ajari aku cara mengusir bayangmu dari pikiranku.

☕☕☕

"Mama ga lagi beneran kan?" pekik Ridan dengan sengitnya. Seperti akan menerjang ibunya yanh sedang duduk bersama Ribka.

"Siapa bilang mama lagi bercanda? Mama serius! Kamu harus belajar sama Ribka biar nilai kamu naik!" balas Lena, kemudian memalingkan pandangannya ke arah Ribka.

Ribka menunduk. Dia jadi tidak enak begini kalau Ridan sampai bertengkar dengan ibunya. Hanya karena Ribka harus jadi guru Ridan untuk beberapa saat untuk melihat perkembangan nilai lelaki itu. Tapi apa gunanya kalau Ridan tidak ikhlas membiarkan Ribka yang mengajarinya, sama saja pelajarannya akan masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

"Tante!" ucap Ribka pelan. "Kalau Ridan ga setuju, Ribka gapapa kok! Biar Ridan nentuin aja!"

"Siapa bilang gitu Ribka?" Lena memutar bola matanya ke arah Ridan yang tampaknya sangat mengantisipasi balasan dari wanita itu. "Mau apapun Ridan bilang, kalau tante bilang iya ya iya!"

Ridan membulatkan matanya. Memang dia tahu seberapa berkuasanya wanita itu di rumah. Kalau Ridan melenceng dari perkiraan, maka lelaki itu akan diberi nasehat dari kedua orangtuanya. Jadi bagi Ridan nyaris tidak ada gunanya kalau mengelak, membuat lelaki itu naik emosi dan meredamnya sebisa mungkin. Jangan sampai dia terbawa suasana dan membuat malu orangtuanya.

"Ridan mau cari angin!" ujar Ridan akhirnya, kemudian berjalan secepat mungkin menuju pintu utama yang lebar.

"Ridan! Mama belum selesai bicara!"

Ridan mengernyit. Tanpa memperdulikan ucapan ibunya, lelaki itu pergi dari rumah dan tiba di halaman secepat kilat. Langkahnya tak terhenti sampai situ, dia masih terus berjalan sampai akhirnya tiba di luar gerbang. Lelaki itu menarik napas sepanjang kapasitas paru-parunya dan menghembuskan udara itu. Lumayan untuk mengurangi sedikit emosinya.

Dia menoleh ke samping, dan saat dia melihat seorang gadis berjalan ke arahnya, nyaris dia terperanjat. Ada Natalie di sana. Berjalan dengan lambat di bawah remang lampu jalanan yang sudah menyala.

"Nata!" panggilnya.

Nata terbelalak. Ada Ridan! Gadis itu dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi sedikit lebih senang dan riang. Dia takut kalau Ridan tahu soal Revin yang lagi-lagi membuatnya menangis. Nata menoleh sejenak ke belakang, memastikan kalau Revin tidak ada di belakang.

"Lo ngapain noleh ke belakang? Yang gue panggil jelas-jelas nama lo!" pekik Ridan.

"Emang kenapa kalau gue noleh?" balas Nata dengan sengit.

Ridan menerka isi otak Natalie. Memang tidak biasanya gadis itu menyambut Ridan seperti orang biasanya. Alias, gadis itu selalu berlebihan untuk menanggapi sesuatu yang bahkan bukan urusannya. Karena dia adalah Natalie. Natalie bukan gadis biasa di mata Ridan. Dia adalah gadis dengan tatapan mata yang sangat melihat melihat seseorang.

"Lo ngapain ke sana?" tanya Ridan lagi setelah Nata sampai di hadapannya.

"Ga! Cuma ngurangin rasa kesel gue gara-gara kejadian di tribun tadi!"

"Sebenernya tadi di tribun kenapa sih?" Ridan membulatkan matanya.

"Kita ke taman rumah gue yuk! Gue mau curhat!" jawab gadis itu.

"Tepat banget!" Ridan menepuk tangannya sekali. "Gue juga lagi kesel banget hari ini!"

Nata tertawa dibarengi jalan mereka ke rumah gadis itu. Memasuki gerbang dan membelok ke arah sebuah jalan setapak yang dihiasi lampu-lampu taman. Kemudian gerbang kecil yang sudah rusak engselnya. Natalie tahu kalau yang merusak engsel itu adalah Haydar. Mengingat hanya dia yang masuk dengan melompat ke taman dan menyelinap ke kamar Natalie.

Mr. Ice (END)Where stories live. Discover now