"Karena Revin."

6.3K 264 1
                                    

Pernahkan angin membisikkan padamu tentang namaku?

☕☕☕

Jhuna mengerutkan dahinya, sampai-sampai kedua alis lelaki itu menyatu. Matanya memancarkan kekesalan karena sebuah kejadian yang tidak terduga hari ini. Memberi Natalie jam tangan dengan surat cinta berisi hasil ulangan temannya, Rahmat. Kalau Icha tahu tentang ini, bisa-bisa Icha menjauhinya.

Tapi bukan suatu keanehan bila lelaki memperjuangkan cinta kepada seorang gadis yang bahkan tidak memperdulikan dirinya. Karena cinta mengubah segalanya.

Dan jika hal ini terjadi pada Jhuna, artinya dia memiliki rada yang besar kepada Icha. Tidak ada yang salah, hanya saja tentang sampai kapan Jhuna bisa memperjuangkan semua.
Di balik Icha yang tiba-tiba berubah.
Jhuna memandangi sekeliling koridor kelasnya yang ramai oleh murid.

Pasalnya, lapangan yang masih terciprat gerimis tidak mendukung untuk menjadi tempat bermain.

Tangannya mengepal satu sama lain, dengan blouse baju yang keluar dan pakaian tanpa dasi. Biasanya ada Dika di sampingnya, tapi tampaknya semua teman lelaki itu mengerti kalau sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengganggu Jhuna.

Dari ujung lorong, terdengar suara derap kaki yang terburu-buru. Mendekat ke arah Jhuna, dan lelaki itu tahu kalau derap kaki itu sekarang berhenti karen orangnya tiba di sampingnya.

Lelaki itu memutar bola matanya. Dari embusan napas, dia bisa tahu kalau yang mendekat adalah temannya, Levi.

Levi, lelaki yang biada mengambil alih piano. Kadang dia juga memakai gitar listrik dengan suara yang memekakkan telinga. Lelaki itu adalah orang paling diam, alias tidak terlalu banyak bicara. Hanya saja, sekali bicara panjanganya bisa menyamai Bengawan Solo. Dam satu lagi yang identik dengan dia adalah, dia cukup pintar dan kurang pas apabila kelasnya disatukan dengan Jhuna. Maka dari itu, Levi menempati kelas sebelas IPS satu.

It's good.

Kembali ke Jhuna, lelaki itu menoleh ke arah Levi yang tengah berdiri seraya menghilangkan kedua tangannya di depan dada. Tatapan mata yang setengah tidur menambah kesal kalau dia suka belajar. Ditambah lagi kantung mata yang hitam seperti panda. Siapa yang tidak heran kalau seorang Levi bisa bergabung ke Black Hole.

Bukan berarti tidak cocok bergabung dengan band sekolah, tapi kurang cocok jika bergabung dengan Jhuna, Rahmat, atau Dika.

"Lo mau ngapain ke sini?" tanya Jhuna.

"Well, lo punya masalah tapi lo ga ngasih tau gue kan? Lo ga asik!" jawabnya dengan suara cupu.

Memang dari semua anak Black Hole, Levi paling cupu. Kalau tidak karena dimarahi oleh Jhuna, pasti dia akan selalu memakai kacamata bundar yang dia pakai untuk belajar.

"Kalau gue cerita, lo bisa apa?" Jhuna memalingkan pandangannya.

"Lo temenin gue Jhun?" Levi membesarkan suaranya, seakan-akan Jhuna adalah orang tuli.

"Suara lo bisa ga sih lebih slow?"

Lelaki itu menaikkan bahu, lalu ikut duduk di samping Jhuna. "Cerita sama gue, mana tau gue bisa bantu."

Jhuna menaikkan alis, dia tidak membalas perkataan Levi. Malah menatap lantai yang kotor oleh lumpur yang dibawa para murid dari rumah, lapangan, bahkan kamar mandi.

"Hoy Jhuna! Malah bengong lo!"

"Wait, gue lagi mikir!" kata Jhuna seraya melirik Levi.

"Oke!"

Mr. Ice (END)Where stories live. Discover now