I'm in Love With You

73.2K 1.6K 124
                                    

Tanpa terasa pernikahan Ben dan Evelyn telah berlangsung dua bulan lamanya. Selama kurun waktu tersebut, keduanya tetap menjalin hubungan sebagaimana mestinya, sesuai dengan perjanjian mereka. Ben dan Evelyn tetap berlaku selayaknya teman tidak lebih, meski tidak dapat dipungkiri adanya rasa nyaman di antara keduanya. Ada rasa peduli, ada rasa ingin menjaga dan ada rasa ingin menyenangkan satu sama lain.

Seperti Evelyn, misalnya. Perempuan itu berusaha untuk selalu menanti kepulangan Ben. Membukakan pintu untuk lelaki itu, menyiapkan air hangat untuk mandinya, serta menghangatkan makan malam untuknya. Evelyn tahu, Ben tentu sudah lelah bekerja seharian. Maka dari itu, sebagai bentuk kepeduliannya, ia selalu berusaha menyiapkan segala keperluan Ben. Pun ketika di pagi hari. Evelyn selalu menyiapkan sarapan dan membantu memilihkan pakaian yang akan digunakan oleh Ben kala hendak pergi bekerja.

Jangan ditanya bagaimana senangnya hati Ben. Meski tidak pernah mengungkapkannya, ia selalu berusaha membalas perlakuan baik Evelyn. Saat perempuan itu ketiduran di sofa misalnya, dengan hati-hati Ben akan mengangkat tubuh mungil itu serta membaringkannya di ranjangnya.

Atau ketika Evelyn sedang merasa tidak enak badan. Ben akan segera menelepon sekretarisnya demi mengatakan bahwa ia tidak dapat pergi ke kantor. Lalu dengan senang hati, ia akan mengambil alih pekerjaan Evelyn di rumah. Ya, seperti hari ini.

"Berhentilah Ben, biar aku yang mengerjakan ini." Evelyn berusaha merebut gagang alat pel dari tangan Ben. Namun dengan cepat lelaki itu menangkis lengannya.

"Tidak, Eve. Kau duduklah. Bukankah kau sedang sakit?" tanya Ben seraya kembali mengepel lantai.

"Tidak, aku sudah sembuh." Evelyn menyahut dengan nada jengkel.

Ben menatap Evelyn dengan seksama. Menelusuri wajah perempuan itu, mencari kebenaran akan kata-katanya. Lalu tiba-tiba saja Ben mengangkat punggung telapak tangannya dan menempelkannya pada dahi Evelyn.

"Kau berbohong," katanya kemudian. "Suhu tubuhmu masih panas."

"Ben..." Evelyn melotot, benar-benar jengkel melihat sikap Ben.

Ben meletakkan alat pelnya. Kemudian dengan santai ia memegang kedua pundak Evelyn dari belakang, mendorong perempuan itu ke arah ruang televisi dan mendudukkannya disana.

"Sebaiknya, kau duduk saja disini. Tonton apapun yang kau suka. Apa perlu aku menyalakan televisinya untukmu?"

Untuk kesekian kalinya Evelyn melotot. Menurutnya, Ben benar-benar keterlaluan. Evelyn hanya demam biasa dan lelaki itu melarangnya mengerjakan apapun, seolah ia tengah sakit parah.

Evelyn sudah terbiasa bekerja, meski dalam kondisi sakit sekalipun. Ya, sejak Ibunya meninggal dunia, ia sudah terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Terlebih saat ia berpisah dengan ayahnya yang menikah lagi dan memilih tinggal sendiri di sebuah kontrakan. Baik dalam kondisi sehat maupun sakit, Evelyn terbiasa melakukan segalanya tanpa bantuan siapapun. Maka saat penyakit yang ringan seperti ini menyerangnya, tetapi Ben malah melarangnya melakukan apapun, Evelyn justru merasa risih. Amat sangat risih.

"Apakah sakit seperti ini membuatku terlihat begitu lemah di matamu?" tanya Evelyn, didorong oleh rasa jengkel yang telah merayapi hatinya.

"Berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak Eve, aku hanya tidak ingin kau kelelahan. Lagipula aku sedang libur, apa salahnya sehari saja aku mengambil alih pekerjaamu?"

"Kau tidak libur, tetapi meliburkan diri."

"Kau menguping pembicaraanku di telepon?"

Evelyn terdiam. Sungguh, ia tidak bermaksud menguping. Evelyn tidak sengaja mendengar pembicaraan Ben dengan sekretarisnya via telepon, saat hendak mengambil air minum ke dapur.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang