Pregnant

73.8K 1.8K 166
                                    

Tanpa terasa waktu terus bergulir dengan cepatnya, dan dua bulan telah berlalu sejak resepsi pernikahan itu. Kehidupan rumah tangga Ben dan Evelyn berjalan dengan sangat mulus. Kehidupan pernikahan yang penuh cinta dan begitu bahagia.

Tiada hari dilalui Evelyn tanpa pernyatan cinta dari Ben. Lelaki itu benar-benar memperlakukannya bak seorang ratu, membuat Evelyn merasa sangat bersyukur memiliki suami seperti dirinya. Belum lagi kehadiran Angel dengan segala kelucuannya. Sungguh, Evelyn benar-benar merasa menjadi perempuan sempurna karena telah memiliki mereka.

"Kau melamun lagi." Evelyn dikejutkan oleh suara bariton milik Ben yang terdengar tepat di telinganya. Ya, tadinya perempuan itu tengah melamun sembari menikmati pemandangan pagi hari dari jendela apartemen mereka. Namun tiba-tiba saja Ben datang mengagetkan Evelyn, dengan kedua tangan yang melingkari pinggangnya, memeluk perempuan itu dari belakang.

"Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Ben dengan lembut.

Evelyn menggeleng. "Tidak," sahutnya kemudian. "Aku hanya sedang mengucap syukur pada Tuhan, karena telah memberiku anugerah yang begitu indah."

"Anugerah?"

"Ya, kau dan Angel. Bagiku kalian adalah anugerah."

Ben segera memutar tubuh Evelyn menghadapnya. Ia menatap kedua mata hazel itu dengan penuh cinta.

"Dengar, Sayang, justru bagiku kau dan Angel adalah anugerah itu. Aku tidak tahu akan seperti apa hidupku jika tidak ada kalian," kata Ben sembari menggenggam kedua tangan Evelyn dengan erat.

Evelyn tersenyum. Betapa ia tidak tahu bagaimana cara yang pantas mengucap syukur pada Tuhan, atas kebahagiaan tidak terhingga yang kini memenuhi hatinya.

"Sekarang, bisakah istriku membantu memperbaiki dasi suaminya yang tampak berantakan ini?" Ben bertanya sembari menunjuk dasinya.

Evelyn tertawa kecil. Dengan segera ia membantu merapikan dasi Ben. Dan saat ia tengah serius merapikan dasi itu, tiba-tiba saja Ben mendaratkan kecupan pada dahinya.

"Ben." Evelyn segera memberikan tatapan melotot pada Ben, namun lelaki itu justru membalasnya dengan tawa. Merasa gemas, Evelyn segera mengangkat tangannya hendak memukul dada Ben. Tetapi gerakannya mendadak terhenti karena tiba-tiba saja, ia merasakan mual hebat pada perutnya.

"Huueekk..." Evelyn membekap mulutnya sendiri dan cepat-cepat berlari ke kamar mandi. Ben yang merasa terkejut menyaksikan hal tersebut dengan segera berlari menyusul istrinya.

"Sayang, kau baik-baik saja?" tanya Ben, dengan nada suara dan raut wajah yang sarat akan kecemasan. Lelaki itu segera mendekati Evelyn yang membungkuk di depan wastafel. Ia memijit tengkuk Evelyn yang masih tampak berusaha memuntahkan isi perutnya.

"Kau sakit?" Lagi, Ben bertanya dengan nada khawatir. Ia segera meraih tisu, lalu pelan-pelan mengelap sekujur bibir Evelyn yang basah oleh air.

Evelyn menggeleng lemah. "Entahlah, sudah tiga hari ini aku sering merasakan pusing dan mual. Mungkin hanya masuk angina," sahutnya kemudian.

"Benarkah? Kalau begitu, kita harus segera ke rumah sakit."

Evelyn menatap suaminya dengan bingung. "Ke rumah sakit? untuk apa?"

"Untuk memeriksakan kesehatanmu, Eve. Jangan menganggap remeh dengan penyakit."

"Tidak perlu, Ben. Aku tidak apa-apa."

"Kau yakin?"

Evelyn mengangguk cepat. "Yakin. Pergilah, jangan sampai kau terlambat ke kantor. Bukankah hari ini kau harus menemui salah satu klien pentingmu?"

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang