I Live My Life For You

61K 1.5K 104
                                    

Evelyn dan Ben tengah duduk di bangku tunggu dengan perasaan cemas. Sesekali mata mereka tertuju pada ruangan operasi, tempat transplantasi jantung Angel dilakukan. Sudah lima jam berlalu, tetapi belum ada dokter maupun suster yang keluar dari ruangan itu. Membuat mereka berdua bertanya-tanya, apakah operasinya berjalan lancar? Apakah semuanya baik-baik saja?

Ben. Lelaki itu tampak gelisah. Sesekali ia menangkupkan kedua tangan pada wajahnya. Sebentar ia berdiri, lalu kemudian duduk. Semenit setelahnya berdiri lagi, lalu duduk lagi. Membuat Evelyn yang melihatnya merasa iba. Ia tahu apa yang tengah ada di pikiran lelaki itu, juga mengerti bagaimana perasannya.

Di dalam sana, Angel sedang berjuang. Perempuan itu sedang berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Hati Evelyn sungguh teriris, mengingat anak seumur Angel harus berhadapan dengan kondisi yang mengerikan begitu. Angel masih terlalu kecil untuk merasakan sakit seperti itu.

Setiap detiknya selalu dilewati Evelyn dengan memanjatkan doa. Semoga operasinya berhasil. Semoga Angel bisa sembuh, dan segera terlepas dari penyakit yang selama ini membelenggunya.

"Ben." Evelyn perlahan berdiri dan menyentuh pundak Ben. Membuat lelaki itu sedikit berjengit karena kaget.

"Ya? Ada apa, Eve?"

"Tenanglah. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Tetapi kau harus percaya bahwa Angel pasti mampu melaluinya. Ben, dia pasti bisa." Evelyn mengukir senyum pada bibirnya.

Senyum yang begitu lembut. Senyum yang mampu mengalirkan kesegaran pada hati Ben yang terasa tandus akibat beban yang harus dipikulnya selama ini. Bukan, bukan berarti Ben memandang Angel sebagai beban. Tetapi sakit yang harus dirasakannya saat melihat gadis kecil itu tersiksa selalu membebani hati Ben. Menancapkan perih yang berkepanjangan di dalam sana.

"Ya, aku tahu. Maaf, aku hanya terlalu panik." Ben menyahut kemudian. "Kau haus? Ingin kubelikan minuman?"

Evelyn menggeleng. Lihat, betapa hebat lelaki ini. Saat dirinya tengah sepanik ini pun, ia masih sanggup memperhatikan orang lain.

"Tidak. Aku tidak haus sama sekali," sahut Evelyn.

"Benar?" Ben bertanya memastikan. Mata elangnya menatap Evelyn dalam-dalam.

"Ya, Ben. Benar. Duduklah, apakah kakimu tidak merasa pegal sebentar duduk lalu berdiri seperti tadi?" Evelyn setengah bercanda, berusaha membuat Ben sedikit lebih santai. Dan usahanya berhasil. Lelaki itu tertawa kecil, lantas kembali menjatuhkan tubuhnya di atas bangku.

"Maaf kalau kegelisahanku mengganggumu." Ben berkata dengan raut wajah menyesal. "Aku hanya—"

"Ya, aku mengerti perasaanmu. Siapapun, ayah manapun, pasti akan melakukan hal serupa jika dihadapkan pada kondisi seperti ini. Tetapi yang perlu kau ingat, putrimu itu kuat. Sesuai namanya, dia itu malaikat." Ben menatap Evelyn lembut. "Lagi pula, dia sudah berjanji padaku kalau dia akan berjuang. Dia akan bertahan, Ben."

Ben menatap Evelyn tak percaya. "Sungguh? Dia mengatakan itu?"

Evelyn mengangguk mantap. "Ya. Dia menyayangimu, Ben. Dia tidak rela meninggalkanmu. Baginya, kau kekuatannya. Kau adalah alasan bagi Angel untuk berusaha memperjuangkan hidupnya."

Ben kembali merasakan matanya berkaca-kaca. Ia menyadari, akhir-akhir ini ia menjadi lelaki yang begitu lemah. Sungguh, kondisi Angel telah meruntuhkan ketegaran Ben. Menghancurkan kekokohannya.

Tetapi, Evelyn salah. Justru Angel yang menjadi kekuatan untuk Ben. Hingga jika gadis kecil itu tak ada, atau pergi meninggalkannya, rasanya Ben lebih baik mati saja. Angel adalah nyawa untuk Ben. Aliran darahnya. Detak jantungnya. Angel adalah segalanya. Ia adalah hidup Ben.

Unexpected WeddingWhere stories live. Discover now