45. Fragility

1.8K 285 49
                                    

Elois memaki dirinya sendiri, kebodohan dan keputusasaan yang nyaris mendorongnya untuk jatuh ke dalam lubang kesalahan yang mengerikan. Ia tidak bisa melakukan hal semacam itu. tidak akan pernah. Christina bukan sekadar gadis biasa, dia adalah adiknya dan ia akan menjaganya dengan segala cara bukan sebaliknya.

Ia berbohong.

Ia tidak menyewa kamar lain di hotel itu melainkan membawa mobilnya pergi dan mengunjungi hotel mewah lainnya, membuka kamar baru dengan kartu kredit baru yang baru saja diberikan oleh ayahnya bulan lalu -untuk membeli segala macam kebutuhan Elois- dan nyatanya transaksi pertama yang ia lakukan adalah menyewa sebuah kamar hotel di tengah kota New York.

Elois mengenakan jubah tidur yang disediakan hotel dan melangkahkan kaki keluar, menuju sebuah beranda yang langsung menyajikan pemandangan titik-titik lampu dalam beberapa warna. Ia menyukainya. Lelaki itu memasukkan kedua tangannya ke dalam sabu jubah sambil menatap lurus ke depan.

Berusaha mengosongkan pikirannya.

Mengosongkan isi kepalanya yang dipenuhi wajah Chris.

Gadis kecilnya, dan akan tetap selalu seperti itu untuk selamanya. Ia menghela nafas panjang dan masih tetap berada diposisinya tanpa bergerak sedikit pun. Sedangkan waktu telah lewat jauh dari tengah malam. Ia tidak bisa memejamkan matanya dengan benar. Kejadian buruk itu seolah terus mengotori pikirannya. Rasa bersalah menggerogoti sendinya.

"Kurasa, aku mulai benar-benar gila." Bisiknya pelan, pada udara kosong atau lebih untuk dirinya sendiri.

Di sisi lain, Chris berbarik di atas tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar. Beberapa puluh menit yang lalu terasa seperti sebuah mimpi gila baginya. Gadis itu bahkan mempertanyakan kewarasan dirinya sendiri. Ia baru saja membuat Elois mundur satu langkah, ah tidak mungkin beberapa langkah, untuk menjauh darinya. Ia tidak bisa lagi mengimpikan keakraban yang pernah mereka lalui bersama dan itu terasa menyakitkan.

"Apa aku terlalu egois?" bisiknya parau denga setetes air mata jatuh dari ujung matanya dan mentes di tempat tidur. Tidak ada suara isakkan atau apapun. Yang ada hanyalah sebuah keheningan dengan suara nafas yang berhembus.

Hanya itu.

**

Mr. Turner membuka pintu kamar rawat putrinya yang ia dapati sedang berdiri diambang jendela besar. Tubuhnya semakin mengurus, seolah berat badannya dengan perlahan tergerus menghilang karena penyakit yang dideritanya. Rona kulitnya mulai menghilang dengan perlahan yang ada hanyalah digantikan dengan kulit pucat. Meski dua hal itu tidak mengurangi kecantikan yang dimilikinya.

Rose hanya terlihat cantik dengan cara yang menyedihkan.

"Ayah sudah bicara dengan Mr. Lynford dan putranya, Elois." Ucap lelaki paruh baya itu, sambil mengamati repos yang keluar dari putrinya.

Sama sekali tidak ada, setidaknya nyaris selama satu menit sampai akhirnya terdengar suara tawa. Bukan tawa riang, lebih para suara yang memilukan, mampu membuat siapapun yang mendengarnya merasa iba.

"Apa aku seburuk itu? Kenapa ayah melakukan itu? Rasanya seperti sedang mengemis untuk sebuah belas kasihan." Ucapnya.

Rose yang angkuh hilang.

Rose yang pemikir hilang.

Digantikan dengan Rose yang tampak rapuh.

"Berhentilah bersikap seperti itu, ayah tahu kau setidaknya sudah mencoba dengan baik."

"Aku memilih untuk dibenci daripada dikasihani." Jawab Rose dingin.

"Kau hanya perlu menjelaskan alasannya dan semua akan menyayangimu."

Closer [END]Where stories live. Discover now