Maaf?

912 80 53
                                    

Rangkaian acara terakhir yaitu penerbangan balon yang ikut menerbangkan sekumpulan kertas harapan setiap orang, termasuk anggota OSIS dan para alumni.

Refa menuliskan satu keinginannya yang terpendam sejak kelas 2 SMP. Deon yang memperhatikan Refa, lantas tersenyum dan menuliskan harapannya.

Balon diterbangkan dengan teriakan dan tepuk tangan meriah. Semua bergembira dan merasa lega dengan menerbangkan satu harapan yang diharapkan bisa terkabul satu hari nanti.

Setelah itu, acara OSPEK kelas 10 ditutup dengan lancar. Kelegaan terpampang jelas di wajah lusuh kelas 10. Mereka pulang membawa sejuta kisah selama OSPEK mematikan di sekolah.

Anak OSIS beserta alumni kini berkumpul di lapangan upacara, melepas lelah seusai meng-OSPEK kelas 10.

“Baik, untuk rekan-rekan semua, juga para Kakak Alumni OSIS. Kita beristirahat sejenak sebelum pulang. Terima kasih atas partisipasi rekan semua. Tapi, bagi yang ingin langsung pulang, silakan. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya.” Farel berbicara di tempat kepala sekolah biasa mengumumkan sesuatu.

Semua mengangguk menanggapinya. Kini, Refa duduk lemas di samping Deon yang kelihatan sumringah seperti biasanya.

“Kenapa, Refa?” Deon menyikut Refa.

“Eh? Enggak, kok.” Refa memaksakan senyum dan melanjutkan lamunannya.

“Enggak, kok … enggak kok. Tapi, mukanya kusut amat, keliatan banget belum mandinya, ihh! Bau …” ledek Deon seraya menutup hidungnya.

“Ih, apa sih?” Refa menyikut Deon.

“Kamu, sih … murung mulu, kenapa? Cerita ngapa.”

“Emang Kak Deon, seseorang yang bisa jaga rahasia?” selidik Refa.

“Ya, iya, lah! Ayo, cerita!” ujar Deon antusias.

“Eungg … jadi gini ….” Refa membenarkan posisinya, seperti akan bercerita panjang.

Deon mengangguk-angguk antusias menunggu ucapan Refa selanjutnya.

“Hmm …. Nanti aja, deh,” lanjut Refa sembari tersenyum kecut.

“Eeehhh …. Udah didengerin, juga.”

“Iya, nanti-nanti aja, deh, aku ceritanya. Aku males nginget-ngingetnya,” ucap Refa.

“Ya, udah, sih. Cuman, kalo aku gak mau denger nanti, jangan nyesel,” timpal Deon.

“Tuh, kan, gitu. Ya, udah, aku juga gak akan cerita.” Refa ngambek.

“Ih, ngambekan mulu …. Ya, udah, aku juga ngambek.” Deon memanyunkan bibirnya so imut, tapi … imut, sih.

“Ih! Jijik, liatnya!” Refa bergidik dan tertawa.

“Lucu gini … dibilang jijik.” Deon menatap Refa kesal.

“Eh, lupa …. Aku, kan, lagi ngambek.” Deon kembali manyun.

“Ih! Udah Kak, ngeri, jijik. Aku gunting bibirnya, nih,” seru Refa sembari tertawa terbahak-bahak.

“Ih! Kejam amat, dasar psikopat.” Deon menghentikan aksi manyunnya.

“Apa? Psikopat?” Refa memukul pelan lengan Deon.

“Cocok tau, kamu jadi psikopat.” Deon melanjutkan ejekannya.

“Serah.” Refa akhirnya mengalah.

Mereka melanjutkan percakapan hangat seperti biasanya. Mood Refa kembali lagi.

Tiba-tiba, tanpa diharapkan sama sekali, Farel datang menghampiri Refa dan Deon.

“Ref.”

Refa menoleh dan mood-nya kembali buruk.

Farel dan RefaWhere stories live. Discover now