Special Story II: Lets Play A Game!

647 112 23
                                    

LIFE IS MORE FUN IF YOU PLAY GAMES

(My Uncle Oswald oleh Roald Dahl, penulis ter-ter-ter-terfavoritku sejak dulu ketika masih kecil sampai dengan saat ini♥)

--------------------------------------

(Cerita ini hanya untuk selingan dan tidak ada kaitannya dengan kelanjutan cerita...)

"Aku pikir tidak akan ada lagi ujian yang sangat menyusahkan seperti pelajaran matematika ketika aku masuk universitas seni seperti ini," Jeonghan menggerutu pelan dengan tangan yang memegang lembaran tebal kertas tepat di depan mukanya. "Dan kemudian seolah menunjukkan rasa humornya, Tuhan memberikan padaku mata kuliah tata rias!" "

"Jangan khawatir," Seungcheol yang duduk di belakang Jeonghan di atas tempat tidurnya, sementara Jeonghan duduk di atas karpet lantai tepat di antara kedua kakinya, dengan penuh konsentrasi tetap melanjutkan tugas mengeringkan rambut laki-laki itu menggunakan hair dryer. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak tersenyum atas keluhan Jeonghan barusan. "Kau sudah pasti akan lulus mata kuliah tata riasmu karena dulu berhasil melewati ujian praktik tengah semester."

"Dengan nilai yang sangat pas-pasan!" Jeonghan menyahut. Sambil menghela napasnya dramatis, ia kemudian meletakkan kepalanya di atas paha kanan Seungcheol, memandang wajah laki-laki di atasnya itu dengan raut memelas. "Ujian ini satu-satunya yang bisa membantuku sedikit memperbaiki nilai kelas tata riasku..." Jeoghan melirik sekilas kertas-kertas di tangannya. "Demi Tuhan! Bagaimana mungkin aku bisa menghapalkan nama-nama peralatan makeup sebanyak ini!"

Refleks Seungcheol ikut meringis mendengar keluhan Jeonghan. Tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini untuk membantu karena dirinya sendiri tidak tahu menahu soal peralatan makeup.

"Masih ada cukup waktu kalau kau mulai segera menghapalnya," menundukkan kepala memandangi wajah Jeonghan, Seungcheol berusaha menjadi pacar yang baik dengan memberikan semangat pada kekasihnya yang sedang memberengut frustasi. "Ujianmu besok jam 3 sore. Kenapa kau tidak datang ke Seungkwan sekarang dan memintanya untuk membantumu belajar?"

"Seungkwan sedang menginap di tempat Vernon dan rencananya besok dia akan berangkat ke kampus dari sana," Jeonghan semakin terlihat murung. "Apa yang harus aku lakukan?"

"Apalagi yang bisa kau lakukan?" Seungcheol merespons pertanyaan Jeonghan, yang menurutnya sudah jelas sekali jawabannya, dengan pertanyaan retorik. Perlahan tangannya mulai mengusap-usap lembut kepala Jeonghan yang berada di atas pahanya. "Mengeluh seperti ini tentu saja tidak akan membuat nilai tata riasmu dengan ajaib menjadi tinggi."

Mendengar pernyataan Seungcheol, Jeonghan hanya terdiam dengan kening berkerut sehingga keheningan terjadi di antara mereka hampir dua menit lamanya. Jeonghan sedang berpikir. Menurutnya apa yang dikatakan Seungcheol memang benar...

Tiba-tiba dengan suara keras Jeonghan menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya cepat hampir seperti sebuah dengusan, sebelum kemudian balas menatap Seungcheol dengan raut muka yang lebih tenang. "Aku sudah memutuskan kalau lebih baik aku tidak usah belajar sama sekali daripada membuang tenaga tanpa hasil."

"Hah?" Seungcheol mengerjapkan matanya, benar-benar dibuat bingung dengan perubahan sikap Jeonghan yang tiba-tiba seperti ini. "Dan nilai kelas tata riasmu?"

"Biarkan takdir yang menentukannya," jawab Jeonghan enteng. "Yang terpenting adalah besok aku tidak membiarkan lembar jawabanku kosong. Aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan apapun yang terpikirkan di otakku dan kemudian pasrah dengan apapun hasilnya."

"Bukankah kata-kata seperti 'pasrah' diucapkan setelah kau berusaha untuk belajar terlebih dulu?"

"Aku sudah berusaha untuk belajar..." Jeonghan mengerucutkan bibirnya, bersikap sok imut. "...hanya saja aku menyadari lebih cepat bahwa hal itu adalah perbuatan yang sia-sia dalam kasusku kali ini."

Bunga Iris dan TakdirUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum